Politik Uang Tak Kunjung Hilang, Pengamat: Masa Panen

Politik Uang Tak Kunjung Hilang, Pengamat: Masa Panen

Fenomena politik uang belum bisa lepas dalam kontestasi pemilihan umum di Indonesia. Ini akibat sikap pragmatis masyarakat. Sikap itu terbentuk dari perasaan kecewa karena pilihan tak mengubah keadaan, sehingga mencari kesempatan mengambil keuntungan. Sampai kapan?

nomorsatukaltim.com - Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Budiman menyebut, dengan kondisi masyarakat yang pragmatis,  politik uang sudah menjadi bagian dari strategi pasangan calon (paslon). "Dan itu diperparah oleh karakteristik masyarakat kita yang kecenderungannya memilih berdasarkan siapa yang memberi," ujar Budiman, baru-baru ini. Potensi politik uang ini, lanjut Budiman, semakin diperparah dengan fakta, kecenderungan masyarakat tidak memilih pasangan calon berdasarkan program dan visi misi. Melainkan, nominal yang diberikan kepada si pemilih. Sehingga, orang dengan modal besar lah yang bisa mencul sebagai pemenang pemilihan umum. "Atau mereka yang dimodali oleh cukong besar lah. Uang memiliki peluang menang tinggi," sebut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini. Modus politik uang pun beragam. Tak melulu diberikan dalam bentuk duit tunai. Bisa berupa program, proyek, atau kesepakatan lain antara si pemberi dengan penerima. Apalagi ditengah masifnya pengawasan dari Bawaslu. Pihak tim sukses (timses) paslon, semakin lihai mencari cara lain agar tidak terendus. Budiman mencontohkan, misal dalam satu wilayah, RT atau komplek. Meminta perbaikan jalan rusak kepada salah satu pasangan calon. Imbalannya, suara dari satu komplek tersebut. Fenomena itu, menjadi gaya baru dalam politik uang. Adanya kesepakatan antara si pemberi dengan penerima membuat praktik politik uang ini, sulit dibuktikan. Timses calon semakin lihai dalam melakukan politik uang yang terselubung. Sementara, personil Bawaslu juga terbatas dalam mengawasi proses penyelenggaran Pilkada. Sehingga perlu perjuangan berat dalam memberantas politik uang yang masif terjadi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi, diprediksi Budiman, semakin memperluas peluang politik uang ini.  Dampak pandemi yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, dan bertambahnya pengangguran. Akan memberi ruang si pasangan calon memberikan tawaran penukaran uang dengan suara. "Mirisnya adalah, ketika Bawaslu melakukan pencegahan politik uang, justru masyarakatnya marah. Karena prinsip mereka, ini 'masa panen' selama Pilkada," ungkapnya. Untuk memerangi fenomena politik uang ini, kata Budiman. Diperlukan kesadaran masyarakat. Karena selama masyarakat masih mendukung praktik haram ini. Politik uang tidak akan pernah hilang mewarnai proses Pilkada. Hal lain yang bisa dilakukan dalam menghapus fenomena politik uang. Adalah komitmen masing-masing paslon. Harus ada kesepakatan antar paslon untuk tidak melakukan politik uang. "Dari yang sering kami diskusikan dengan paslon, mereka sebenarnya mau tanpa politik uang. Tapi ada jaminan tidak, pasangan lain tidak kasih? Kan tidak. Ujung-ujungnya, malah berlomba siapa yang kasih lebih banyak," terang Budiman. Terakhir, perlu adanya pendidikan politik kepada masyarakat. Dan upaya pencegahan partisipatif dari kalangan masyarakat itu sendiri. Terhadap praktik politik uang. Agar pilkada yang jujur dapat tercipta. Dan menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas dengan program unggulan untuk kesejahteraan masyarakat. (krv/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: