Hujan Deras 13 Jam, Sepaku Kebanjiran

Hujan Deras 13 Jam, Sepaku Kebanjiran

PPU, nomorsatukaltim.com - Seperti di beberapa daerah di Kaltim lainnya, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) juga tak luput dari banjir. Hujan deras tak kurang dari 13 jam sejak Jumat malam (27/11/2020) penyebabnya. Terjadilah luapan "kelebihan" air.

Yang terparah terjadi di 3 wilayah. Desa Bukit Raya, Kelurahan Sepaku, dan Desa Sukaraja. Semuanya di Kecamatan Sepaku. Wilayah yang dekat dengan lokasi ibu kota negara (IKN) baru yang ditunjuk Presiden Joko Widodo itu.

Luapan air terjadi keesokan harinya, Sabtu (28/11/2020), sekira pukul 06.30 Wita. Tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) PPU langsung turun ke lokasi. Komplit. Ada dari Polsek Sepaku, Koramil Sepaku, Bidang Pengairan PU, Kades Bukit Raya, Lurah Sepaku, sampai organisasi masyarakat dan warga. Bahu-membahu menolong warga yang terdampak. Melakukan pendataan, pemantauan identifikasi sungai/saluran pembuang dan pemenuhan logistik bagi korban. Jumlah korban terdampak tak kurang dari 86 kepala keluarga (KK) dari 265 jiwa. Itu dari catatan petugas. Belum tahu jika ada yang luput. Di Desa Bukit Raya, setidaknya ada 5 RT yang terdampak. Di Kelurahan Sepaku ada dua. Juga di Desa Sukaraja, ada dua. Ada lagi sebagian kecil wilayah di Desa Karang Jinawi. Selain rumah warga, banjir juga menenggelamkan area pertanian. Tak main-main. Sekira 30 hektare hamparan sawah sekejap "hilang" dari pandangan. Milik sekira 80 petani, berubah menjadi danau. Tinggi muka air (TMA) saat itu sekira 50 - 120 centimeter. Untuk di dalam rumah, ketinggiannya mencapai 60 centimeter. "Seluruhnya kondisi TMA sudah surut. Termasuk air yang menggenangi areal persawahan. Kecuali RT 1, RT 2 & RT 3 Kelurahan Sepaku, yang saat ini air cenderung masih menggenang," terang Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD PPU Nurlaila, Minggu (29/11/2020). Sudah ditebak. Sesuai dengan analisa BPBD PPU. Kondisi sungai, saluran pembuang, dan drainase yang sempit serta dangkal. Itulah yang mengakibatkan aliran air tidak lancar dan kemudian meluap. Selain hal tersebut, lanjut dia, di wilayah itu sudah tidak terdapat daerah resapan atau embung-embung air. Nah loh. Sehingga pada saat terjadi penebangan "penghuni" hutan tanaman industri (HTI) oleh perusahaan pengelolanya, PT ITCI Hutani Manunggal (IHM), habislah sudah. Banjir pasti terjadi. Seperti beberapa hari ini. "Sehingga pada saat terjadi hujan yang cukup lebat maka aliran air dengan volume yang cukup besar langsung mengalir ke area rendah wilayah pemukiman," jelas dia. Bencana banjir parah seperti ini ternyata bukan pertama kali terjadi. Tapi semenjak berpuluh-puluhan tahun yang lalu. Dari yang diingat, sudah terjadi sejak era transmigrasi 1977 silam. "Seingat saya, semakin parah sejak 2012. Namun untuk kondisi banjir besar selama yang terjadi 4 tahunan belakang, ini yang terparah," kata Ketua relawan Santri Tanggap Bencana (Santana) PPU, Muhammad Abid. Yang terparah, lanjutnya, pernah terjadi pada 2017 lalu. Jauh lebih parah dari yang terjadi saat ini. Bagusnya, bencana itu disambut dengan berbagai pembenahan drainase. "Jadi sempat di 2018 - 2019 sudah bagus. Setelah normalisasi sungai memang masih banjir, tapi tidak terjadi banjir besar lagi. Dan baru terjadi kembali hari ini tadi," ungkap Abid. Abid tahu benar kondisinya. Selain ia seorang relawan bencana, ia juga berdomisili di Sepaku. Warga juga tak begitu kaget lagi dengan kejadian ini. "Mereka sudah antisipasi dengan kejadian yang banjir saat ini, airnya sampai masuk rumah. Sejak 2 tahun ini banjir memang selalu masuk rumah warga soalnya," jelasnya. Sama, menurutnya penyebabnya memang karena banyak tumbuhan di Sepaku dipangkas. Hutan digunduli dan diganti menjadi hutan produksi. Yang diisi tanaman industri. Akibatnya, saat hujan intensitas tinggi, proses pemanenan air tidak berjalan dengan baik. Jadi langsung masuk saluran-saluran di areal pemukiman. Tidak lagi tertampung dulu. Sedangkan kondisi sungai juga sudah menyempit. Drainase juga sudah berulang kali tersumbat. Karena sampah, pun rusak karena diinjak kendaraan bermuatan berat. Ditambah, posisi di bawahnya juga mendukung. Waktu pasang-surut air laut sedang terjadi. Harapan masyarakat sederhana. Adanya lagi pelebaran sungai, pengerukan sungai yang saat ini dangkal, lalu penyudetan kawasan sungai lagi. "Normalisasi lah. Namun untuk penyudetan ini sekarang susah-susah gampang. Karena area lokasinya sering bertabrakan (bersinggungan) dengan lahan milik warga," pungkasnya. (rsy/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: