Tukang Stempel

Tukang Stempel

Ilustrasi stempel. (int) Malam itu, si Pulan tampak rapi. Kemeja putih biru. Jam tangan pun warnanya biru. Duduk bersandar di kursi rakitan yang menempel di jendela kaca rumah tetangganya. Tangannya sibuk bergerak. Mengiringi mulutnya yang tak henti berbicara. Jarang ada titiknya. Tanda koma terus. Sementara Edy, lawan bicaranya malah berbaring. Di kursi kayu panjang. Tepat di depan Pulan. Baju kaus putih yang dikenakan sudah tak beraturan. Setengah dicopot. Tapi masih menempel. Mungkin hanya bisa membalas obrolan sedikit-sedikit. Kemudian, obrolan sepenuhnya dikuasai Pulan. Edy memilih menyimak, sambil tiduran. Yang diobrolkan malam itu soal politik. Dan turunannya. Banyak sekali. Merembet ke mana-mana. Pilkada serentak 2020 untuk kabupaten/kota menurutnya hal yang mubazir. Banyak menghamburkan uang. Jika dikumpulkan, uang pilkada itu, jumlahnya bisa triliunan rupiah. Angka yang besar jika dimanfaatkan untuk hal lain. Yang lebih produktif. Yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat. “Contoh DKI Jakarta. Wali kotanya dipilih gubernur. Sampai sekarang adem-ayem saja. Kenapa kita enggak ngikut DKI Jakarta,” ujarnya. Pulan setuju. Jika pemilihan langsung kepala daerah hanya dilakukan di tingkat gubernur. Biayanya irit. Misalnya saja, anggaran Pilwali Balikpapan di atas Rp 50 miliar. Bayangkan, ada 270 daerah di Indonesia yang ikut pilkada serentak. Bisa sampai Rp 1,3 triliun uang penyelenggaraannya saja. Mungkin bisa lebih dari itu. “Kalau pemilihannya melalui partai ya sama saja. Paling yang terpilih itu-itu saja,” kata Edy. Bangun. Nyeruput kopi hangat. Kemudian tiduran lagi. “Yang milih bukan partai. Tapi gubernurnya. Dari kalangan ASN yang berprestasi. Sesuai eselon,” timpal Pulan. Jadi, ini juga ruang kaderisasi buat ASN. Selama ini, kata Pulan, karier mereka mentok di Sekda. Nah, jika formulanya ditunjuk oleh gubernur, nantinya sekda-sekda berprestasi bisa naik menjadi wali kota atau bupati. “Jelas mereka mengerti birokrasi. Dan latar belakang pendidikanya bagus,” katanya. Apalagi, dengan pola rekruitmen ASN sekarang ini yang sudah bagus. Jelas. Wacana yang disampaikan Pulan ini akan banyak mengundang reaksi. Terutama bagi partai politik. Selama ini, pilkada menjadi ruangnya partai politik. Pesta demokrasi. Ya pestanya partai politik. Namun perlu menjadi catatan juga. Partai politik masih tersentral di dewan pimpinan pusat (DPP). Pengurus di daerah hanya kepanjangan tangan saja. Semua keputusan strategis ada di DPP. Mislanya, penentuan unsur pimpinan di DPRD provinsi, kabupaten/kota. Kemudian, ketua parpol. Bahkan hingga calon kepala daerah dari partai tertentu, keputusan finalnya ada di DPP. Lalu, apa kewenangan DPC, DPD atau DPW ? Padahal yang mempunyai massa, ya pengurus partai di daerah setempat. Itulah yang sering terjadi. Kader parpol yang memiliki loyalitas, akhirnya harus rela kesalip. Yang nyalip bukan kader partai. Bahkan, baru mengenal dunia politik. Misalnya. Ada juga kasus seperti ini; sudah digadang-gadang pasangan calon pada pilkada daerah. Komunikasi politik sudah intens dilakukan. Sepanduk sudah bertebaran di mana-mana. Dianggap calon kuat. Tapi, begitu menjelang penetapan calon, bisa berubah. Katanya keputusan pusat. Itulah politik. Keputusan pusat tersebut bisa saja menjadi problem solving. Atas konflik-konflik politik di daerah. Ketika ada yang komplain atau mempertanyakan hasil. Tinggal berkilah. “Kan pusat yang tentukan”. Pertanyaan selanjutnya. Jika semua diputuskan pusat, lalu buat apa ada penjaringan bakal calon di daerah? Buat apa ramai-ramai buka pendaftaran? Mending langsung saja komunikasinya ke pusat. Langsung saja lobi-lobinya ke pengurus pusat. Tapi, hati-hati juga. Jangan sampai salah kamar. Pengurus pusat banyak pintunya. Mau lewat pintu mana. Salah-salah tak jadi dapat SK..hmm Apakah ini memungkinkan. Jika tidak ikut daftar penjaringan bacalon partai, tapi punya akses ke pengurus pusat (DPP), apa masih bisa dipilih? Disorong partai yang buka pendaftaran itu. (Silakan jawab dalam hati). Jika jawabannya “memungkinkan”, berarti ya titik..titik.. Itulah politik. Politik juga bisa bermakna, bagaimana maraih hati pengurus pusat. Bukan lagi merebut basis konstituen. Memang ada survei elektabilitas bacalon. Partai tak mau kalah dalam pertandingan. Tapi itu jika benar-benar tokoh itu kuat. Teramat kuat. Partai yang merapat. Namun, jika elektabilitasnya standar saja. Tidak rendah. Tapi tidak terlampau kuat juga. Banyak pertimbangannya nanti. Kendati potensial. Itulah politik. Soal SK DPP, menurut Pulan, bisa menjadi ranah permainan. “Tak capek kah. Kerjanya hanya buat SK...” seloroh Edy. “Jangan salah. Nyaman buat SK itu,” timpal Pulan. Jika dalam medapatkan SK pusat itu ada konsekuensi biaya. Tinggal dikalikan dengan total penyelenggaraan pilkada serentak. Ada 270 kota/kabupaten. Lumayan. Cukup jadi tukang stempel saja. Melihat fakta tersebut, ada relevansinya wacana yang dikemukakan si Pulan tadi. Tentu akan sulit. Melepas hegemoni pengurus pusat partai. Ibaratnya, pengurus daerah hanya setor nama. Atau mungkin ada juga setor yang lainnya. Nah, pengurus pusat yang stempel. Hmmm... Bagaimana dengan Anda? */Pemimpin Redaksi Disway Kaltim #saran dan masukan bisa dikirim via email [email protected]

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: