Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia

Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia

“Melihat perkembangan keuangan digital Indonesia saat ini, inklusi dan literasi sangat dibutuhkan. Untuk menjaga transaksi dan pengetahuan. Agar keduanya bisa berjalan beriringan,” kata Dino melalui seminar daring, Rabu lalu.

Kenaikan tingkat literasi keuangan masyarakat diharapkan mampu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah masyarakat yang dapat menentukan dan memanfaatkan produk dan/atau layanan jasa keuangan (tingkat inklusi keuangan). Sehingga pada akhirnya akan mendorong kesejahteraan masyarakat.

Inklusi keuangan menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 76/POJK.07/2016 adalah pemenuhan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan. Sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Dalam rangka memperkuat kesejahteraan dan mengurangi penyebab inflasi.

Inklusi keuangan dapat diistilahkan terwujud jika seluruh orang dapat mengakses layanan keuangan dengan mudah dan bertanggung jawab.

Sementara literasi keuangan adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, risiko, dan keterampilan. Agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial.

“Melek keuangan digital adalah poin yang dibutuhkan saat ini. Bukan hanya melek. Tapi juga paham akan apa yang dilakukan (inklusi). Tugas kami melakukan literasi terkait dengan pemberian edukasi kepada khalayak tentang layanan sektor jasa keuangan digital,” kata Dino.

Di sisi lain, ekonom dan peneliti Institute of Economic and Development (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, literasi keuangan sebaiknya diperkenalkan dan dilakukan sejak dini.

“Salah satu faktor mengapa literasi keuangan rendah, mungkin dari pendidikannya dulu. Di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia, sejak sekolah dasar (SD) sudah ada simulasi buat laporan keuangan,” kata Bhima dalam kesempatan yang sama.

“Di Indonesia, secara umum, tidak ada pelajaran financial management. Generasi muda seperti milenial, harapannya mulai belajar. Agar literasinya lebih tinggi daripada generasi sebelumnya. Karena mereka (milenial) lebih adaptif,” ujarnya.

PERLU ATURAN

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai transaksi berbasis digital perlu pengaturan hukum. Untuk memberikan perlindungan konsumen. Yang akhirnya dapat mendorong konsumsi masyarakat lebih baik.

“Pandemi COVID-19 ini telah memaksa kita untuk beralih ke dunia serba digital. Untuk itu, perlu pengaturan hukum terkait transaksi berbasis digital yang dilakukan oleh konsumen. Sebagai wujud penegakan hak konsumen atas keamanan, keselamatan, kenyamanan,” ujar Ketua BPKN Rizal E. Halim dalam peringatan Hari Ritel Nasional di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, potensi timbulnya masalah yang merugikan konsumen dalam transaksi digital akan semakin besar. Seiring dengan perkembangan pengguna internet di Indonesia yang tinggi.

Pada tahun 2020, ia mengemukakan, pengguna internet di Indonesia mencapai 175,5 juta jiwa. Dari jumlah populasi sebanyak 268 juta jiwa. Diiringi dengan peningkatan volume transaksi yang semakin pesat. Baik melalui media sosial maupun platform e-commerce.

Rizal menyampaikan, ada tiga hal yang perlu digalakkan sebagai bagian dari upaya perlindungan konsumen. Pertama, meningkatkan kualitas produk melalui optimalisasi fungsi pengawasan, yang terintegrasi antar kementerian/lembaga terkait.

“Karena selama ini cukup banyak produk ritel (terutama yang dijual secara online) tidak sesuai dengan aturan. Seperti tidak ber-SNI, tidak berbahasa Indonesia, tidak memiliki izin edar, tidak mencantumkan label halal, komposisi, tanggal kadaluwarsa, praktek diskon dan pemberian hadiah yang mengelabui, dan sebagainya,” kata Rizal.

Kedua, melakukan penguatan terhadap LPKSM dan BPSK. Sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing. Ketiga, meningkatkan keberdayaan konsumen dengan mencari informasi sebelum membeli, cermat saat membeli dan berani menyampaikan keluhannya apabila mengalami kekecewaan pasca membeli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: