Tujuh Pedemo Aksi Tolak UU Cipta Kerja Dipulangkan

Tujuh Pedemo Aksi Tolak UU Cipta Kerja Dipulangkan

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com – Tujuh dari sembilan pedemo dalam aksi menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dibebaskan polisi. Mereka sempat ditahan Kamis (5/11/2020) lantaran diduga melakukan aksi vandalisme dalam aksi tersebut.

Sementara itu, dua pedemo sisanya telah ditetapkan sebagai tersangka. Tak hanya sampai di situ. Polresta Samarinda masih terus memburu massa aksi yang diduga melakukan aksi vandalisme.

"Ada sekitar tiga orang yang kita cari," kata Kasat Reskrim Polresta Samarinda, Kompol Yuliansyah, Minggu (8/11/2020).

Meraka yang saat ini tengah dicari, lanjut Yuliansyah, diduga kuat telah melakukan pengerusakan sejumlah fasilitas publik. Semisal pengerusakan pagar kantor DPRD Kaltim saat aksi unjuk rasa.

"Nanti kalau sudah didapat kami mintai keterangan, apa pasal yang musti kita terapkan," katanya.

"Sementara ini, petunjuknya dari foto-foto yang merusak pagar. Kan banyak tuh foto yang beredar pengerusakan, makanya kami masih cari lagi," sambungnya.

Sementara itu, penetapan dua pedemo sebagai tersangka oleh polisi mendapatkan kecaman oleh mahasiswa dan aktivis. Hal itu diungkapkan dalam siaran pers yang dilakukan secara daring pada pukul 20.00 Wita, Jumat (6/11/2020) lalu.

Ricardo, Humas Aliansi Mahakam mengatakan, yang sebenarnya selalu menjadi korban dari setiap aksi adalah para demonstran.

"Kami selalu mendapatkan tindakan represif. Kebebasan berpendapat bahkan yang sudah diatur dalam undang-undang. Membawa sajam (senjata tajam) serta menganiaya aparat adalah tuduhan tanpa dasar," jelas Ricardo.

Ricardo menyebut, polisi hanya sekedar melempar tuduhan tersebut. Bahkan jika mau dihitung secara seksama, Ricardo mengklaim kalau yang menjadi korban di setiap aksi, pasti mahasiswa jauh lebih banyak ketimbang polisi itu sendiri. Pihaknya pun mengecam langkah penangkapan dan penetapan status tersangka kepada dua mahasiswa berinisial FR (24) dan WJ (22).

"Bahkan polisi membuat framing baru, kalau ada aparat yang menyamar menjadi wartawan dan melakukan aksi represif kepada kami," kata Ricardo.

"Soal lemparan bom molotov pun demikian. Kami yang dituduh padahal mereka (polisi) yang menyamar. Dan banyak aparat berseragam sipil saat chaos mereka menarik massa aksi, bahkan ada yang menendang kelaminnya," kata Ricardo lagi.

Lanjut Ricardo, akar permasalahan ini ialah disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Namun ketika ada penolakan, Presiden RI Joko Widodo justru menghentikan aksi demonstrasi menggunakan aparat kepolisian.

"Yang awalnya nawacita menjadi duka cita. Karena mereka (polisi) tidak melakukan cara humanis. Kami dituduh aparat kepolisian, padahal mereka sendiri yang melakukannya," tegasnya.

Tak hanya penetapan status tersangka kepada FR dan WJ, pada kesempatan yang sama Ricardo juga menuding kalau hasil reaktif COVID-19 yang disebutkan polisi hanya bualan belaka.

"Rapid test itu juga ‘jebakan batman’. Kami yang salah dan dituduh segala hal lainnya. Kami sedang diskusi dan konsultasi dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum), tujuannya untuk melakukan sikap yang mengecam aparat," sambungnya.

Sementara itu, Fathul Huda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, menilai ada kejanggalan terhadap penetapan tersangka FR. Kata Fathul, pada malam harinya setelah FR digelandang ke Mapolresta Samarinda, ia masih diperiksa sebagai saksi pada Kamis (5/11/2020) lalu.

Saat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, di pagi harinya, yakni Jumat (6/11/2020), FR langsung dinaikan statusnya sebagai tersangka atas kepemilikan sajam.

"Ini menjadi catatan kami. Penangkapan tidak manusiawi, ditendang, diinjak, dan digunduli. Aparat jelas melanggar prinsip demokrasi. Kami kecam keras atas nama aliansi atas tindakan brutal para kepolisian," seru Fathul.

Bahkan Fathul meminta agar para oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan kepada para demonstran bisa diproses. Disanksi, dikenakan kode etik, bahkan pemecatan secara tidak hormat. Sebab tindakan represif adalah cerminan buruk bagi wajah kepolisian Indonesia.

"Bila aparat punya bukti, kami juga punya bukti tindakan brutal oknum tersebut. Mari kita buka semuanya apabila diperlukan, agar adil dan tidak mendiskriminasi massa aksi, seolah-olah massa aksi yang salah. Padahal aparat juga banyak melakukan pelanggaran dan tidak manusiawi, bahkan biadab," timpalnya.

Sementara itu, Bernard Marbun yang juga berasal dari LBH Samarinda menyampaikan, FR yang dituding membawa sajam jenis badik merupakan setingan semata. Bahkan kata Bernard, sajam yang dituduh milik FR ditemukan sekira delapan meter dari tempat FR diamankan petugas.

"Di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), dia (FR) berdua sama temannya datang dan tidak membawa apa-apa dan murni mengikuti aksi. Bagaimana mungkin tidak membawa apa apa terus tahu-tahu ada sajam kemungkinan besar FR dijebak," tegasnya.

Aliansi gabungan ini tentu tak akan tinggal diam. Sebab korban sebenarnya dari setiap aksi justru berasal dari kalangan demonstran. Sementara itu, dalam kesempatan tersebut, para aktivis dan mahasiswa menyebutkan, setidaknya ada tiga orang peserta aksi yang telah dijemput untuk dimintai keterangan. Dengan demikian, menurut mereka, total ada 12 orang yang sempat dilakukan penahanan.

Menanggapi hal itu, lanjut Kompol Yuliansyah mengatakan, tidak ada peserta aksi yang ditangkap pihaknya, selain kesembilan orang dan dua di antaranya yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Mana ada, enggak ada itu. Yang tujuh itu sudah dipulangkan. Yang duanya tetap ditahan, karena dilanjutkan kasusnya," timpalnya.

Yuliansyah juga menerangkan, ditetapkan satu orang sebagai tersangka penganiayaan, karena telah melempar batu, hingga melukai anggota polri yang bertugas mengamankan aksi.

"Tersangkanya ya itu, yang melempar satu itu. Jadi ketika dia lempar batu itu, pak Agus itu lagi abis ambil minum atau apa gitu, terus terkena," jelasnya.

Akibat lemparan batu itu, anggota polri tersebut mengalami luka cukup fatal. Yakni pada saraf bagian matanya.

"Dokter bilang harus dirawat ke Singapura, katanya sih ada sarafnya yang terkena kalau dibiarkan aja bisa buta," ucapnya.

"Jadi katanya dokter, kalau kena saraf mata terasanya bukan sekarang, tapi nanti selang beberapa tahun, karena jangka panjang. Makanya kami mau patungan ini kita Kasat-Kasat, supaya dia bisa diberangkatkan ke Singapura sana," demikian Yuliansyah. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: