YLBHI Soroti Tindakan Represif Polisi Saat Demo di DPRD Kaltim

YLBHI Soroti Tindakan Represif Polisi Saat Demo di DPRD Kaltim

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti tindakan represif aparat kepolisian dalam pembubaran massa aksi tolak UU Cipta Kerja, di depan Kantor DPRD Kaltim, Kamis (5/11/2020) petang.

YLBHI mengingatkan Polri sebagai alat negara, bukan alat pemerintah. "Presiden sebagai atasan Kapolri, tampaknya menikmati pelanggaran kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum ini. Presiden harus bertanggung jawab," kata Ketua YLBHI, Asfinawati, Jumat (6/11/2020). Asfinawati menilai, Presiden seakan melakukan pembiaran terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian kepada massa aksi. Seharusnya, kata aktivis kelahiran Bitung itu, presiden menghentikan tindakan represif. "Karena laporan publik sudah di mana-mana. Tapi tidak ada perubahan dari polisi. Artinya atasan Kapolri harus bertindak," tegasnya. Atas nama YLBHI, Asfinawati juga menyoroti surat telegram Kapolri nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober. Di mana, surat tersebut seakan memosisikan Polri sebagai alat pemerintah. Bukan alat negara. "Dalam UUD 1945 dan amandemennya, Polri adalah alat negara. Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri, untuk tidak mengganggu netralitas serta independensi yang seharusnya diterapkan Polri," katanya. YLBHI meminta presiden menghormati UUD 1945 dan amandemennya. Serta UU 9/1998. "Yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pendapat di muka umum," tuturnya.

DEMOSNTRASI DAN DUGAAN PELANGGARAN PENANGANAN MASSA AKSI

Demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan Kantor DPRD Kaltim, menyisakan cerita. Sejumlah massa aksi ditahan Polresta Samarinda. Sementara sebagian lainnya mengalami luka berat. Sejumlah massa mengatakan mereka, ada yang dipeteng, dijambak, dipukul dengan pentungan, ditinju hingga ditendang. Selain sejumlah anggota kepolisian berseragam, sejumlah pengunjukrasa juga mengaku menjadi korban kekerasan petugas berpakaian sipil. Seorang mahasiswa Politeknik Negeri Samarinda (Polnes) yang minta namanya dirahasiakan mengalami patah jari tengah tangan kanan. Mahasiswa angkatan 2018 itu dirawat di RSUD AW Sjahranie dan tengah menunggu operasi. Pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Polnes Suhanto mengatakan korban merupakan salah satu pengurus BEM. "Dia mendapat tindakan represif. Rencananya Senin akan dioperasi,” kata Suhanto. Ia menjelaskan, saat pembubaran oleh aparat kepolisian, korban berusaha menyelamatkan seorang peserta aksi yang akan ditangkap aparat. Massa lain yang mengalami luka ialah Bagus, mahasiswa Universitas Mulawarman. Ia mengalami luka di kepala hingga harus mendapat perawatan medis. "Orangnya lagi istirahat, tidur. Kepalanya (Bagus) bocor. Enam jahitan. Kemudian dipukul. Begitu pengakuannya ke kita tadi," kata Dodi, kawan sekaligus ketua organisasi mahasiswa yang diikuti Bagus. Humas aksi yang berlangsung di depan Kantor DPRD Kaltim itu, Yohanes Richardo menegaskan, pihaknya yang tergabung dalam Aliansi Mahakam, mengecam dan mengutuk keras tindakan aparat kepolisian pada saat membubarkan massa aksi Aliansi Mahakam tersebut. "Kawan-kawan kami diseret, dipukul, ditendang, bahkan ada yang dibotakin. Itu fakta. Yang kami temui di lapangan dan dari video-video yang beredar," katanya. "Dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, jelas. Kalau ada demonstrasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, ya dibubarkan. Bukan kemudian ditangkap, diseret. Dan kepolisian jelas, punya peraturan Kapolri, bagaimana dalam menangani unjuk rasa," imbuh Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhammad Isnur. Disampaikan Isnur, Kapolri mengatakan, penanganan massa aksi dilakukan dengan tahapan persuasi dan humanis. "Tapi kok itu tidak tampak ya," ucapnya. Ia juga menyampaikan, prosedur penanganan massa aksi, diatur dalam beberapa peraturan Kapolri. Salah satunya, dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Yang mengatur soal pelarangan tindakan kekerasan terhadap massa aksi, dalam pembubaran massa. Yang diatur pada pasal 21 misalnya. Tapi, kata Isnur, apa yang terjadi selama ini, bahkan sejumlah aparat kepolisian melakukan tindakan pidana. Saat melakukan upaya pembubaran. "Dalam hal ini, bukan hanya melakukan tindakan prosedural. Tapi, yang namanya mukulin orang itu tindak pidana. Melanggar Perkapolri nomor 8/2009 tentang impelementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri. Dan (pemukulan) melanggar kode etik. Melanggar SOP dan tindak pidana. Ya namanya mukulin kan tindak pidana," jelasnya. Pengamat hukum di Kaltim, Herdiansyah Hamzah menegaskan hal serupa. Tindakan brutal aparat kepolisian dalam upaya pembubaran massa aksi, bertentangan dengan protokol penanganan unjuk rasa. Berdasarkan ketentuan pasal 23 Perkapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. "Mestinya aparat kepolisian bisa membedakan antara pelaku yang melakukan vandalisme dan peserta unjuk rasa yang tidak dalam pelanggaran hukum. Perkapolri tersebut juga, menegaskan, petugas tidak boleh mengejar pelaku aksi, menangkap dengan kasar, menganiaya atau memukul," jelas Castro ---sapaan Herdiansyah Hamzah. Sementara berkaitan dengan aksi yang berakhir ricuh, Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Arif Budiman mengatakan aksi penolakan UU Ciptaker tak memiliki surat pemberitahuan. "Tapi kita tetap laksanakan pengamanan. Dari titik kumpul sampai titik aksi kita kawal. Saat sudah menunjukkan pukul 18.00 Wita, mereka semakin anarkis dan chaos. Mau tidak mau, kami harus tegas. Demi melindungi masyarakat di Samarinda," katanya. Di sisi lain, Arif mengklaim mendapat laporan dari masyarakat yang terganggu. "Kami menerima komplain, bahwa aksi sangat mengganggu masyarakat. Ini yang dikeluhkan. Tentunya harus kita tindaklanjuti," katanya. Kendati begitu, Arif Budiman tak menyebut siapa masyarakat yang melapor. (sah/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: