Momentum Transisi Energi Indonesia

Momentum Transisi Energi Indonesia

Jakarta, nomorsatukaltim.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang melanda berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, telah memberikan efek berganda pada aspek sosial dan ekonomi. Termasuk sub-sektor ketenagalistrikan. Tapi di sisi lain, kondisi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera melakukan transisi energi.

Menteri ESDM Indonesia, Arifin Tasrif menegaskan, transisi energi juga harus bisa mewujudkan ketahanan energi. “Situasi sulit yang kita hadapi saat ini dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong percepatan transisi energy. Melalui pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi dalam menjaga ketahanan energi. Sekaligus mewujudkan kemandirian energi jangka panjang,” kata Arifin di sela Seminar Digital Hari Listrik Nasional ke-75 secara virtual, Rabu (4/11).

Menurut Arifin, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya transisi energi misalnya fleksibilitas pengembangan pembangkit EBT dalam RUPTL PLN 2019-2028.

“Pencapaian target bauran dan penambahan pembangkit EBT dapat dilakukan di luar rincian RUPTL tersebut. Sesuai dengan kebutuhan sistem kelistrikan lokal,” ujar Arifin.

Kebijakan selanjutnya adalah pengembangan smart grid. Sesuai Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, pada 2020, smart grid telah mulai diimplementasikan di beberapa daerah di Jawa-Bali dan secara bertahap diterapkan pada sistem di luar Jawa-Bali.

“Penggunaan smart grid memungkinkan sistem pengaturan tenaga listrik secara efisien, menyediakan keandalan pasokan tenaga listrik yang tinggi, pemanfaatan sumber EBT, dan memungkinkan partisipasi pelanggan dalam penyediaan tenaga listrik,” ujar Arifin.

Dia menjelaskan, saat ini pemerintah sedang melakukan revisi grid code, yang masih dalam proses pembahasan, serta diharapkan akan segera selesai. Kemudian pengembangan distributed generation, micro-grid, dan distributed storage. Di mana PLN tengah melakukan studi pemasangan baterai di Bali dengan kapasitas 50 MW/200MWh.

“Jika studi ini layak, maka baterai menjadi alternatif untuk mitigasi kekurangan daya jangka pendek, dan dapat menjadi cadangan untuk generator EBT intermittent. Selain itu, Tabung Listrik (Talis) juga terus dikembangkan untuk melistriki daerah-daerah perdesaan yang terpencil,” ungkap Arifin.

Kebijakan lainnya adalah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Di mana konsumen PLN dapat memasang PLTS Atap dan menghasilkan listrik sendiri. Bahkan mengekspor ke PLN. Hingga semester I-2020, PLTS Atap yang telah dipasang mencapai 11,5 MWp oleh 2.346 pelanggan.

Pemerintah pun saat ini tengah menyusun Peraturan Presiden tentang EBT yang mengatur pembelian listrik EBT oleh PLN. Selain itu, pemerintah juga mengimbau penggunaan energi bersih di kawasan wisata. Diharapkan kawasan wisata tidak lagi menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau BBM dan mengganti secara bertahap dengan pembangkit berbasis gas atau EBT.

Arifin juga mengajak Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) untuk menyusun peta jalan dan merumuskan kebijakan energi nasional.

“Dalam program transisi energi, pemerintah mengajak peran serta MKI bersama stakeholder untuk mencari solusi terbaik. Dalam menyusun peta jalan dan merumuskan kebijakan energi nasional,” tegas Arifin.

SEMAKIN DIMINATI

PLTS bakal menjadi primadona di masa depan. Menurut laporan, penggunaan energi terbarukan ini akan melonjak hingga 80 persen di berbagai negara. Badan Energi Internasional mengatakan, PLTS menghasilkan listrik lebih murah dibandingkan dengan batu bara.

Dilansir dari CNN, menurut Badan Energi Internasional (IEA), salah satu sumber listrik termurah dalam sejarah dan telah mengurangi biaya investasi adalah sel surya fotovoltaik. Sistem fotovoltaik dapat dipasang sebagai panel di rumah, bisnis, dan digunakan di taman surya.

IEA mengatakan, biaya listrik dari instalasi fotovoltaik surya skala besar telah turun dari sekitar 38 sen per kilowatt-jam pada 2010 menjadi rata-rata global 6,8 sen per kilowatt-jam tahun 2019.

“Saya melihat tenaga surya menjadi raja baru pasar listrik dunia,” kata direktur eksekutif IEA, Fatih Birol dalam sebuah pernyataan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: