Ketergantungan RI terhadap Utang Luar Negeri

Ketergantungan RI terhadap Utang Luar Negeri

Lalu, arus utang luar negeri menimbulkan resiko portfolio. Pasalnya, investor asing membeli utang easy in dan easy go. Akibatnya, apabila terjadi penurunan minat pembeli, utang valas bisa capital outflow besar-besaran.

“Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tappering off, apa dananya tidak outflow? Apa antisipasinya? Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, utang pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan APBN yang merupakan produk dari pemerintah dan DPR.

“Kenaikan utang pemerintah adalah konsekuensi dari defisit APBN yang ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR,” kata Piter.

Di sisi lain, defisit APBN terjadi karena terbatasnya pajak yang dibayarkan masyarakat. Sementara di sisi lain, belanja pemerintah tinggi untuk proyek-proyek pembangunan, besarnya subsidi dan lain-lain. “Kalau kita memang tidak menginginkan utang pemerintah terus bertambah, pilihannya adalah kita disiplin membayar pajak. Dan kita juga tidak mendorong pemerintah melakukan pembangunan yang melebihi kemampuan pemerintah. Hilangkan subsidi, hilangkan bantuan sosial, dan sebagainya,” ujar dia.

Menurut dia, tidak banyak negara yang terus menerus mempertanyakan posisi utang pemerintahnya. Sementara sesungguhnya utang pemerintah Indonesia masih jauh di bawah batas yang dianggap tidak aman. “Jika dibandingkan negara-negara peer,utang pemerintah masih sangat rendah,” katanya.

PECANDU PINJAMAN

Ralph van Doorn, ekonom senior Bank Dunia untuk Indonesia memproyeksikan, rasio utang Tanah Air terhadap PDB akan naik mendekati 40 persen. Selain itu, angka ini masih belum pasti terkait apakah realitasnya justru lebih besar atau berbanding lurus dengan ketidakpastian pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyerahkan dokumen kebijakan stabilitas keuangan di tengah pandemi kepada Ketua DPR RI Puan Maharani. (IN)

Dengan berbagai realisasi pinjaman Bank Dunia serta proyeksi relevansi rasio sebelumnya, apakah konsekuensi nyata dari pinjaman Bank Dunia yang seolah jadi candu tersendiri bagi SMI ini, seiring negara mengalami kesulitan keuangan?

Analisis Pinter Politik menyebutkan, John Cavanagh, peneliti dari Institute for Policy Studies di Washington D.C. Amerika Serikat (AS) dalam tulisannya berjudul World Bank, IMF Turned Poor Third World Nations into Loan Addicts menyatakan, ketika negara menerima structural advice atau persyaratan struktural, Bank Dunia “menghadiahi” negara tersebut dengan pinjaman lebih banyak lagi. Hal ini memperdalam utang mereka. Lalu, Cavanangh juga mengungkapkan, beberapa implikasi dari persyaratan struktural riil yang seolah bagai pedang bermata dua bagi negara peminjam.

Pertama, itu berpengaruh pada berkurangnya dan bahkan dipangkasnya pengeluaran pemerintah pada aspek dasar seperti bahan pokok, bahan bakar, hingga pendidikan. Tak heran jika kemudian anggaran pendidikan RI anjlok dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga enggan diturunkan. Padahal harga minyak dunia sempat anjlok beberapa waktu.

Kedua, Cavanagh menyebutkan dampak inheren pinjaman Bank Dunia terhadap terjadinya eksploitasi berbagai sumber daya secara maksimal yang berorientasi pada “subsidi” investasi. Hal ini tercermin dalam pengesahan Revisi Undang-Undang  (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang dikenal dengan UU Minerba.

Ketiga, terdapat korelasi pinjaman Bank Dunia dengan masifnya impor di negara debitur. Meskipun Badan Pusat Statistik mengatakan, persentase impor Indonesia pada April lalu turun, namun secara agregat, angka tersebut masih cukup besar. Terutama pada sektor elementer yang seharusnya bisa dimaksimalkan di dalam negeri. Seperti kebutuhan pangan dan sandang.

Senada, masih dari sumber yang sama, Catharine Weaver dalam tulisannya, Hypocrisy Trap: The World Bank and the Poverty of Reform, menyatakan, penyesuaian struktural bagi sebuah negara sebagai syarat pinjaman Bank Dunia membuat negara tersebut menjadi aid dependence atau ketergantungan dana bantuan. Bahkan istilah Weaver itu oleh Cavanagh sebelumnya disebut sebagai loan addict atau jika diterjemahkan dapat berarti pecandu pinjaman. (mmt/dtk/cnn/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: