Tak Lagi Terapkan UN Disdikbud Gunakan Sistem AKM

Tak Lagi Terapkan UN Disdikbud Gunakan Sistem AKM

Samarinda, Nomorsatukaltim.com – Tahun depan ujian nasional atau UN ditiadakan. Berganti dengan penilaian Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kebijakan ini merupakan terobosan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

Sebelum memutuskan ambil kebijakan tersebut, pertimbangan tentu dilakukan. Saat ini Dinas Pendidikan di daerah masih menimbang, termasuk Samarinda. “Jadi yang masuk penilaian akhir bukan mata pelajaran lagi,” ujar Barlin Hadi Kesuma, Kabid Pembangunan SMP Disdik Samarinda saat dikonfirmasi baru-baru ini.

Lebih lanjut, Barlin menerangkan tentang evaluasi final jelang tamat belajar. Dalam AKM nanti bakal ada tiga penilaian. Pertama itu numerasi, kemampuan siswa menganalisis menggunakan angka. Lalu ada literasi. Penilaian kompetensi tersebut tak hanya soal kapabilitas pelajar membaca, namun juga menganalisis suatu bacaan dan memahami konsep di balik tulisan tersebut.

Dengan demikian tak lagi berdasarkan mata pelajaran dan penguasaan materi, tetapi kompetensi minimum atau kompetensi dasar yang dibutuhkan siswa untuk bisa belajar. Ada pula survei karakter. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui data secara nasional.

Sistem sudah bekerja baik atau tidak. Survei karakter bakal jadi acuan bagi sekolah untuk menciptakan lingkungan sekolah buat siswa lebih bahagia. Dengan demikian, sistem ini jadi cermin bukan beban lantaran hasilkan autokritik.

“Jadi ketika murid mendapatkan nilai yang buruk di sekolah, tak langsung menghakimi. Bisa jadi sekolah ikut bertanggung jawab karena tak bisa hadirkan suasana nyaman. Baik dari sisi pengajar atau fasilitas penunjang tak layak,” jelasnya.

Dia menerangkan, perubahan sistem dari ujian menjadi AKM bukan tanpa sebab. Sebelum menuju beleid tersebut pemerintah telah laksanakan sejumlah survei dan musyawarah bersama guru, siswa, dan orangtua.

Lantaran tiga entitas inilah yang selama ini bertalian erat dengan ujian nasional. Dalam pelaksanaannya, tuntutan ujian nasional tentu harus bisa melewati ambang batas nilai yang ditentukan. Jika tidak, maka dianggap tak lulus. Itu artinya terancam tak bisa lanjutkan pendidikan. Bebannya terlalu berat. Hanya dalam tiga hari masa depan ditentukan, padahal belajarnya tiga tahun.

Kondisi inilah yang membuat stres siswa, guru maupun orang tua karena ujian nasional justru menjadi indikator keberhasilan belajar siswa sebagai individu. “Bahkan gara-gara ini pula tak jarang ada kasus bunuh diri. Inilah yang kami tak inginkan terjadi,” tegasnya.

Dia menambahkan, sudah saatnya sistem lama ditinggalkan. Karena penilaian murid harusnya tak lagi gunakan angka dan peringkat. Negara tetangga, Singapura yang terkenal dengan pendidikannya itu tak lagi menerapkan rangking.

Ingat, setiap anak itu diciptakan berbeda. Mereka adalah individu unik. Guru tak mungkin meminta anak yang ahli berenang kemudian bermain bola. Masing-masing punya kompetensinya sendiri. “Kebijakan penilaian inilah yang hendak diterapkan pada tahun depan,” pungkasnya. (adv/top/boy/sam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: