Transformasi Menuju Ekonomi Digital

Transformasi Menuju Ekonomi Digital

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Saat ini, pemerintah sedang fokus mengejar transformasi ekonomi digital. Langkah pemerintah tersebut sebuah momentum yang tepat di tengah pandemi COVID-19. Yang menghambat kegiatan bersifat fisik.

Akan tetapi sejumlah persoalan di depan mata masih menjadi pekerjaan rumah. Mulai dari urusan listrik di mana tidak semua daerah sudah bisa menikmati listrik 24 jam, terdapat 12.000 desa yang tak terjangkau internet, serta pengetahuan ekonomi digital masyarakat yang masih rendah. Jadi, potensi ekonomi digital yang sangat besar itu belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Apabila tiga persoalan tersebut belum bisa diatasi segera.

Mendongkrak pengetahuan masyarakat adalah salah satu upaya yang harus dilakukan. Dengan meningkatkan literasi ekonomi digital. Sebab, walau masyarakat memiliki akses digital namun mereka digitally iliterated alias tidak mampu memahami teknologi digital, maka infrastruktur jadi sia-sia. Karena itu, tak ada jalan lain. Pemerintah harus memusatkan perhatian dalam mendorong bidang pendidikan terkait literasi ekonomi digital pada masyarakat.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyebut, sekitar 9 juta orang berbakat (talenta) dibutuhkan untuk 15 tahun ke depan. Bagaimana mendapatkan talenta sebanyak itu? Kalau targetnya 9 juta talenta selama 15 tahun, artinya pemerintah harus mendapatkan 600.000 talenta per tahun. Sebuah jumlah yang tidak kecil. Namun, tak perlu khawatir, SMI sudah menghitung dengan cermat untuk pembiayaannya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen pembiayaan negara tidak hanya dialokasikan pada infrastruktur keras. Seperti fiber optik, satelit dan Base Transceiver Station (BTS). Tetapi juga diarahkan untuk pendidikan. Guna mendukung proses transformasi ekonomi digital.

Seberapa besar sebenarnya potensi ekonomi digital di Indonesia? Untuk mengetahui potensi tersebut, Google bersama Temasek dan Bain & Company telah merilis sebuah laporan seputar tren pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara bertajuk e-Conomy SEA 2019.

Laporan ini mengungkapkan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia berpotensi menembus USD 133 miliar dalam lima tahun ke depan. Selain itu, laporan tersebut juga memprediksi pertumbuhan sektor e-commerce sebanyak 12 kali lipat dan sektor transportasi daring (online) enam kali lipat dalam empat tahun ke depan.

Potensi ekonomi digital yang dilaporkan Google meliputi lima sektor. Yakni e-commerce, media daring, wisata & perjalanan, dan jasa keuangan. Disebutkan, Jabodetabek sebagai pendorong utama pertumbuhan digital ekonomi. Sementara wilayah di luar Jabodetabek diprediksi bertumbuh dua kali lebih pesat. Dalam enam tahun ke depan. Hanya saja, laporan itu dirilis akhir tahun lalu sebelum pandemi COVID-19 melanda negeri ini.

DIPERKIRAKAN NAIK

SMI memperkirakan ekonomi digital Indonesia naik dari US$ 40 miliar atau sekitar Rp 588 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dolar AS) menjadi US$ 133 miliar atau sekitar Rp 1.955 triliun dalam lima tahun ke depan. Ini berarti, nilai ekonomi digital domestik bakal melonjak lebih dari dua kali lipat pada 2025.

“Dalam lima tahun ke depan nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan naik lagi. Dari US$ 40 miliar jadi US$ 133 miliar,” ucap SMI dalam Acara HUT Golkar ke-56 secara virtual, Rabu (21/10).

Bendahara negara mengklaim potensi nilai ekonomi digital Indonesia lebih besar ketimbang Thailand. Jika nilai ekonomi digital benar-benar menyentuh US$ 133 miliar pada 2025, artinya lebih tinggi dua kali lipat dari nilai ekonomi digital di Thailand.

Menurut dia, nilai ekonomi digital Indonesia terus meningkat setiap tahun. Bahkan, nilai ekonomi digital yang saat ini sebesar US$ 40 miliar sudah naik lima kali lipat sejak 2015. “Sebuah kenaikan sangat cepat. Potensi sangat besar,” imbuh SMI.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, transaksi ekonomi digital di Indonesia memang terus meningkat. Hal ini khususnya terjadi di masa pandemi COVID-19. “Seperti transaksi e-commerce. Kenaikan 2019 menjadi Rp 205,5 triliun akumulasi satu tahun,” tutur Perry.

Tahun ini, ia memproyeksi transaksi e-commerce naik menjadi Rp 429 triliun. Prediksi itu dihitung berdasarkan realisasi transaksi e-commerce per Agustus 2020 yang sebesar Rp 180 triliun.

Kenaikan transaksi ini sejalan dengan nilai transaksi jual beli di e-commerce yang meningkat hampir dua kali lipat. Jumlahnya naik dari 80 juta transaksi pada 2019 menjadi 140 juta transaksi sampai Agustus 2020.

Sebelumnya, Ekonom Utama sekaligus PMO Blue Print Sistem Pembayaran BI Agung Purwoko mengatakan, kenaikan transaksi di e-commerce terjadi karena ada pergeseran pola belanja dan pembayaran masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhannya di tengah pandemi. Sebab, masyarakat sedang tidak mungkin melakukan mobilitas di tengah kebijakan pembatasan dari pemerintah untuk menekan penyebaran virus.

Berdasarkan jenis barang, Agung mencatat mayoritas transaksi e-commerce merupakan pembelian produk makanan dan minuman. Permintaannya meningkat tinggi pada awal pandemi. Namun belakangan menurun seiring dengan pelonggaran kebijakan pembatasan mobilitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: