KDRT ibarat Fenomena “Gunung Es”

KDRT ibarat Fenomena “Gunung Es”

TANJUNG REDEB, DISWAY - Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan masih sulit untuk dipantau, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Berau, menganggap hal itu seperti gunung es.

Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPPKBP3A Berau, Yayuk Yuliarto, masih belum dapat membeberkan lebih jauh bagaimana perkembangan kasus KDRT di Bumi Batiwakkal-sebutan Kabupaten Berau, sebab pelaporan pada mereka hanya berada di antara angka satu maupun dua perkara. Seperti yang tercatat pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Berau, KDRT di tahun 2019 hanya terdapat 1 kasus, sedangkan hingga September 2020 meningkat menjadi 3. Tetapi kata Yayuk, jika melihat data Pengadilan Agama (PA) Tanjung Redeb tahun 2019 yaitu sebanyak 31 perkara perceraian akibat KDRT, dan hingga September 2020 sudah sebanyak 24 perkara. Dengan adanya perbedaan seperti itu, hal itu tentu menimbulkan pertanyaan bahwa KDRT masih sulit untuk diketahui. Ada pula, stereotip yang mungkin membuat korban KDRT takut untuk melaporkan KDRT, bisa jadi sebuah tindakan pidana. Tetapi hal itu disanggah oleh Yayuk. “Jadi seperti gunung es, perumpamaannya di dalamnya itu lebih banyak yang sebenarnya terjadi, dibanding permukaan yang telah dilaporkan. Jadi agak susah kalau mau memastikan adanya peningkatan atau tidak,” jelasnya kepada Disway Berau, Senin (19/10) Baca juga: BERAU DPPKBP3A Diminta Maksimalkan Program Yayuk menjelaskan, banyaknya faktor KDRT didominasi permasalahan ekonomi. Biasanya jika ada tekanan pada ekonomi rendah, tidak jarang ada emosi yang dilampiaskan pada fisik perempuan maupun anak. Namun, yang sedang marak pula adalah digitalisasi yang menyebar luas. Medsos juga sangat berpengaruh. Dan, prilaku kekerasan yang sudah lazim pada rumah tangga seseorang. Jika secara general, adanya kasus KDRT yang tidak terlihat adalah banyaknya perempuan yang masih malu untuk melaporkan, dan merasa itu sebuah aib. Juga, ketika perempuan merasa tidak memiliki penghasilan, sehingga akan bertahan dengan suami, walaupun hidup dalam kekerasan. Kadang, ketika pihaknya turun ke lapangan, tidak sedikit ada laporan dari tetangga terdekat, bahwa di kampung mereka atau di lingkungan tersebut ada kasus yang terjadi. Walaupun ada dugaan seperti itu, pihaknya tidak bisa menindaklanjuti. “Kalau KDRT ini, korban harus melapor terlebih dahulu. Tidak bisa ketika hanya mendengar desas-desus saja, dan tidak bisa langsung terjun begitu saja,” jelasnya. Ia mengatakan, bahwa kasus KDRT tidak terpusat pada satu lingkungan atau satu kecamatan, semuanya dapat terjadi potensi, walaupun besar penyebabnya adalah ekonomi. Pihaknya telah melakukan upaya pencegahan yaitu berupa pusat bimbingan keluarga (Puspaga). Tetapi, yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas perempuan agar berdaya di rumah tangga. Yaitu bagaimana menciptakan ladang penghasilan sendiri, agar tidak bergantung pada suami. “Berpenghasilan sendiri itu bukan berarti juga harus dituntut untuk bekerja kantoran” tegasnya. Ketika perempuan memiliki penghasilan walaupun sedikit, hal itu bisa membantu untuk perempuan dianggap berdaya dan tidak bergantung. Pihaknya memberikan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan yang dapat membuat perempuan tetap bisa mengembangkan diri untuk dapat berdaya, serta bisa ikut memutar ekonomi keluarga. *RAP/APP

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: