Jokowi: Perekonomian RI Tak Seburuk Negara Lain

Jokowi: Perekonomian RI Tak Seburuk Negara Lain

Dia pun menyoroti kinerja sektor-sektor industri di Indonesia yang berkontribusi terhadap minusnya pertumbuhan ekoomi Indonesia. Dia mengatakan, sektor perdagangan dan pengolahan, sebagai 2 sektor dengan jumlah tenaga kerja yang besar kinerjanya tercatat kontraksi sebesar minus 7,57 persen dan minus 6,19 persen pada kuartal II lalu.

Selain itu, sektor akomodasi dan makanan pinuman bakan mengalami kontraksi 22,02 persen serta industri transportasi hingga minus 30,84 persen. “Makanan dan minuman mengalami kontraksi besar. Tekanan terhadap tenaga kerja sangat besar. Oleh karena itu, langkah-langkah ke depan dalam penciptaan lapangan kerja menjadi penting,” ujar dia.

***

Ekonom Indef Faisal Basri menilai pemerintah sudah frustrasi menangani masalah pandemi COVID-19. Sejak awal, pemerintah dinilai masih fokus menjaga ekonomi daripada kesehatan.

Salah satu yang jadi contoh adalah revisi UU Bank Indonesia (BI). Sehingga revisi UU BI dijadikan alasan untuk mengalihkan koordinasi yang tidak kompak antar pemegang kebijakan.

Ia menjelaskan, untuk mengatasi tekanan ekonomi akibat COVID-19, maka harus dilakukan oleh seluruh pemegang kebijakan. Terutama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Namun, koordinasi antar mereka dinilai tidak baik. Hal itu terlihat dari revisi UU BI ini.

“Pengendali kebijakan ekonomi itu ada di pemerintahan. Termasuk BI, Menkeu dan sebagainya. Tapi ya ini analisis saya. Saya lihat pemerintah rada frustrasi kelola ekonomi ini,” ujarnya melalui diskusi virtual, Kamis (1/10).

Menurutnya, para pemegang kebijakan ini sudah salah langkah sejak awal. Dengan terlebih dahulu menyelamatkan perekonomian dibandingkan sisi kesehatan. Hal ini yang menyebabkan penyebaran COVID-19 hingga saat ini semakin banyak dan sisi ekonomi pun tak kunjung membaik.

“Mereka enggak punya kuasa untuk kontrol dan lakukan apapun. Dalam mengatasi sumber masalah. Yakni COVID-nya,” tambahnya.

Faisal menilai, saat ini seharusnya pemerintah sudah menyalakan tanda darurat kesehatan dengan banyaknya pertambahan kasus setiap hari. Namun, pemerintah justru dinilai ingin menciptakan klaster baru dengan tetap melaksanakan pilkada tahun ini.

“Atasi virus ini dengan membuat Perppu. Kita sudah darurat. Bagaimanapun kebijakannya ini tidak akan selesai kalau pilkada juga jalan. Kasus bisa tembus 1 juta pada Desember. Lalu ekonominya mau apalagi?” tanya Faisal.

Ia pun meminta pemerintah untuk kembali mempertimbangkan kebijakan yang dikeluarkan saat ini. Terutama memilih antara sisi kesehatan ataupun perekonomian.

“Yang penting dalam mengatasi COVID-19 ini, jangan renovasi atap rumah kalau badainya belum selesai. Pikirkan dulu,” tegasnya.

***

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi. Salah satunya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggarannya mencapai Rp 695,2 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: