Menkeu: Peluncuran Uang Baru Bukan untuk Menambah Likuiditas

Menkeu: Peluncuran Uang Baru Bukan untuk Menambah Likuiditas

Potret Jembatan Merah Youtefa Papua yang dimuat dalam uang baru pecahan Rp 75.000 yang diluncurkan BI. (Int)

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Uang Peringatan Kemerdekaan (UPK) 75 Tahun RI pecahan Rp 75.000 bukan sebagai tambahan likuiditas. Untuk kebutuhan pembiayaan atau pelaksanaan kegiatan ekonomi.

“Peluncuran uang rupiah khusus dilakukan dalam rangka memperingati peristiwa atau tujuan khusus yang dalam hal ini peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 tahun,” katanya dalam peresmian uang khusus itu secara virtual di Jakarta, Senin (17/8).

Menkeu juga menyatakan, pengeluaran UPK 75 Tahun RI dalam bentuk lembaran kertas itu juga bukan pencetakan uang baru yang ditujukan untuk peredaran secara bebas dan tersedia di masyarakat.

UPK 75 RI dicetak sebanyak 75 juta lembar dan sudah didistribusikan oleh Bank Indonesia (BI) ke kantor perwakilan BI di daerah.

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mempertanyakan peluncuran uang tersebut. Pada dasarnya, dari sisi patriotisme Heri mengapresiasi langkah BI tersebut. Namun di lain hal, ia mempertanyakan efektivitas uang edisi HUT ke-75 RI itu dari sisi ekonomi.

“Namun dari sisi ekonomi patut dipertanyakan efektifitasnya dalam mendorong perbaikan ekonomi. Terutama untuk memulihkan perekonomian yang saat ini sedang di ambang resesi akibat adanya pandemi COVID-19,” ucap politisi yang karib disapa Hergun itu.

Menurut Ketua DPP Partai Gerndra itu, sejak adanya pandemi COVID-19, BI berkontribusi besar dalam upaya memulihkan perekonomian nasional.

Langkah-langkah yang sudah dilakukan BI di antaranya menurunkan suku bunga acuan BI7DRR hingga ke level 4 persen, melakukan quantitative easing sebesar Rp 633,24 triliun per 14 Juli 2020, menjadi pembeli SBN di pasar perdana, dan mengikuti program burden sharing dengan pemerintah.

“Tetapi sayangnya, upaya-upaya yang dilakukan oleh BI bersama pemerintah dan lembaga terkaitnya gagal menahan minusnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020,” lanjutnya.

Sebagaimana yang diumumkan oleh BPS, perekonomian Indonesia pada kuartal II-2020 dinyatakan minus 5,32 persen. Sejumlah pihak memprediksi tren kurang menggembirakan tersebut akan berlanjut ke kuartal III-2020.

“Idealnya, semua pihak termasuk BI harus fokus pada permasalahan tersebut. Bagaimana caranya memulihkan perekonomian agar tidak masuk ke dalam jurang resesi,” imbuhnya. (rd/an/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: