Bankaltimtara

Menyoal Kontradiksi Perppu Pilkada Serentak

Menyoal Kontradiksi Perppu Pilkada Serentak

Pilihan yang paling bijaksana, tentu saja menunggu kondisi dan situasi pandemi COVID-19 ini mereda. Atau setidak-tidaknya penyebaran wabah ini sudah bisa ditekan dan dikendalikan oleh pemerintah. Artinya, waktu pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan sangat ditentukan kapan bencana nasional non-alam ini berakhir.

Dengan demikian, frase “dilaksanakan pada bulan Desember 2020”, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 201A ayat (2) Perppu Nomor 2 Tahun 2020, otomatis gugur dan tidak miliki kekuatan hukum yang mengikat. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak perlu mengeluarkan peraturan teknis mengenai tahapan Pilkada serentak lanjutan. KPU sebagai penyelenggara seharusnya dalam posisi wait and see. Sembari menunggu pandemi COVID-19 ini mereda. Ini berarti kesepakatan DPR, pemerintah, dan KPU yang memutuskan waktu pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 juga otomatis gugur dengan sendirinya.

Namun jika pun pemerintah, DPR, dan KPU tetap bersikukuh menggelar Pilkada serentak lanjutan pada 9 Desember 2020, maka suka tidak suka, pilihan hukum satu-satunya yang tersedia adalah Perppu. Kita butuh dasar yang kuat untuk melegitimasi pelaksanaan Pilkada serentak. Di tengah pandemi COVID-19 menghantam negara kita. Perppu inilah yang akan menjadi pijakan hukum pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan dalam kondisi “tidak normal”.

Jika tetap digelar pada 9 Desember 2020 atau di tengah pandemi COVID-19, maka Pilkada serentak lanjutan tersebut “tidak memiliki keabsahan. Sehingga berpotensi untuk digugat secara hukum”. Pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi juga jelas hanya akan menguntungkan petahana. Karena memiliki kesiapan terhadap keseluruhan sumber daya yang dibutuhkan dalam Pilkada. Kendati dilaksanakan di masa pandemi COVID-19. Karena petahana didukung pendanaan, mesin poliitik, dan SDM.

Namun alasan yang paling utama tentu saja pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi, akan “membahayakan nyawa” warga negara. Terlebih jika tidak ditopang dengan protokol kesehatan yang ketat dan memadai. Sebab Pilkada serentak lanjutan di tengah pandemi COVID-19 bukan hanya pertaruhan keselamatan bagi penyelenggara. Namun juga pertaruhan nyawa bagi seluruh rakyat Indonesia. (*Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: