Ironi Perayaan Kemerdekaan: Terjepit di Antara Harga Tinggi dan Pajak Mencekik
Ariel Aditya Rahmat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL.---dok. pribadi
Oleh: Ariel Aditya Rahmat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL
MOMENTUM Kemerdekaan tahun ini, seharusnya memasuki masa yang sarat dengan harapan dan optimisme. Namun, ironisnya, kenyataan yang dialami oleh banyak rakyat justru sebaliknya. Mereka menghadapi tekanan dan kesulitan hidup yang semakin mendalam.
Lonjakan harga kebutuhan pokok yang drastis dan beban pajak yang semakin mencekik menjadi dua masalah utama yang membelenggu kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi menengah ke bawah.
Dalam konteks ekonomi menjelang kemerdekaan, masa ini mestinya identik dengan janji kebebasan dan perbaikan nasib rakyat. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, kondisi ekonomi seringkali stagnan bahkan memburuk, diwarnai inflasi yang tinggi yang menjadi penyebab utama melonjaknya harga barang kebutuhan pokok.
Harga yang kian tidak terjangkau ini berimbas sangat berat pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah yang pada akhirnya semakin terperangkap dalam kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Peningkatan harga tersebut dipengaruhi oleh perubahan perilaku pasar, gangguan pasokan akibat berbagai faktor, serta spekulasi yang merugikan. Kesulitan impor bahan baku turut memperparah kenaikan harga produk domestik. Dampak sosial dan ekonomi dari kondisi tersebut terlihat jelas, yaitu tergerusnya daya beli rakyat kecil sehingga mereka harus mengurangi bahkan kebutuhan dasar seperti pangan.
Ini menjadi sebuah tragedi ekonomi yang memperdalam jurang sosial ketimbang menjadi momentum kebangkitan.
Sementara itu, pemerintah sebagai pengelola negara yang wajib membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas cenderung menaikkan pajak atau memperluas basis pemajakan menjelang kemerdekaan. Namun, tanpa adanya kebijakan perpajakan yang adil dan efektif, beban ini justru memberatkan rakyat kecil.
Pajak yang tidak proporsional dan tanpa disertai keringanan atau pemutihan bagi golongan rentan malah memperparah ketidakadilan sosial dan memicu ketidakpuasan yang masif.
Ironi keterjepitan ini menjadi gambaran yang sangat tajam antara janji kemerdekaan dan realita kehidupan rakyat. Janji kemerdekaan seharusnya membawa kebebasan dan kesejahteraan, namun faktanya rakyat justru terbelenggu di antara dua tekanan besar: harga kebutuhan pokok yang tinggi dan pajak yang membebani.
Situasi ini juga menimbulkan kesenjangan dalam pemahaman dan komunikasi antara pemerintah yang merancang kebijakan dan rakyat yang menanggung akibatnya. Kebijakan yang tidak disertai pendampingan dan dialog sosial yang intens justru menimbulkan ketegangan sosial dan menambah rasa ketidakadilan.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan pengelolaan ekonomi yang benar-benar pro-rakyat, dimulai dengan kebijakan pengendalian harga yang efektif, pengawasan distribusi barang, dan pemberantasan praktik monopoli yang memicu kenaikan harga tidak wajar.
Selain itu, reformasi perpajakan harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemampuan bayar, dengan menitikberatkan keringanan pajak bagi kelompok miskin dan menengah agar beban yang mereka tanggung tidak semakin berat. Pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya melalui investasi di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, menjadi kunci penting untuk memperkuat daya beli dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Di samping itu, sangat diperlukan ruang dialog sosial dan transparansi dalam perencanaan serta penggunaan dana publik agar kepercayaan masyarakat dapat tumbuh dan bertahan.
Situasi yang terjadi menjelang kemerdekaan ini semakin menambah kepedihan rakyat yang berada dalam tekanan ekonomi yang sangat berat. Alih-alih menjadi momentum perbaikan, kemerdekaan kali ini berpotensi menjadi beban baru bagi mereka.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
