Ironi Perayaan Kemerdekaan: Terjepit di Antara Harga Tinggi dan Pajak Mencekik
Ariel Aditya Rahmat, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL.---dok. pribadi
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat agar janji kemerdekaan tidak berhenti sebagai retorika indah namun menjadi kenyataan riil yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Fenomena konkret yang terjadi pada awal Agustus 2025, menunjukkan lonjakan harga signifikan terhadap komoditas utama seperti beras, bawang merah, dan telur ayam dengan kenaikan mencapai 14%.
Di beberapa daerah di Indonesia timur, harga beras bahkan menembus hingga Rp20.000 hingga Rp50.000 per kilogram, jauh melampaui batas acuan pemerintah. Harga bawang merah secara nasional naik 13,8% dari bulan sebelumnya, membuat sebagian besar harga kebutuhan pokok melewati ambang batas yang telah ditetapkan.
Namun demikian, fluktuasi harga ini tidak seragam di seluruh wilayah. Esensi masalah tetap sama, harga rata-rata nasional yang tinggi terus menekan daya beli masyarakat kecil dan menengah, sementara kebijakan pemerintah belum menyentuh seluruh daerah secara efektif.
Di bidang perpajakan, penerimaan pajak nasional hingga pertengahan Agustus 2025 menunjukkan penurunan drastis sebesar 16,7% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan realisasi baru mencapai 45,5% dari target APBN. Hal ini memperlihatkan betapa perekonomian masih dalam tekanan berat, sementara dunia usaha dan masyarakat kelas bawah terus membayar pajak tanpa disertai keringanan yang berarti.
Pemerintah telah melakukan langkah deregulasi sistem perpajakan dan memberikan relaksasi melalui Peraturan Menteri Keuangan baru mulai 1 Agustus 2025, yang bertujuan meringankan beban pelaku usaha dan mengakomodasi perkembangan ekonomi digital serta mencegah pajak berganda.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menegaskan bahwa pajak disesuaikan dengan kondisi keuangan wajib pajak, termasuk tidak mewajibkan pajak penuh pada mereka yang merugi. Namun, di lapangan, pelaksanaan kebijakan ini belum menyentuh kelompok mereka yang paling terdampak secara signifikan. Beban dan pengawasan pajak masih terasa sangat berat bagi masyarakat yang kesulitan ekonomi dan pelaku UMKM, terutama di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kondisi ini semakin memperjelas ironi yang dihadapi rakyat, dua belenggu berat sekaligus, yaitu harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi dan pajak yang belum meringankan beban masyarakat bawah.
Pemerintah memang mengklaim telah menawarkan solusi melalui operasi pasar dan kebijakan PMK baru, tapi implementasi dan pemerataan manfaatnya masih jauh dari yang diharapkan. Pernyataan Menteri Keuangan tentang fleksibilitas pajak sangat penting, namun akses ke relaksasi tersebut masih sulit dijangkau oleh masyarakat awam dan pelaku usaha kecil.
Pada hari kemerdekaan tahun ini, rakyat masih terjebak dalam paradoks yang memilukan, dimana beban ekonomi yang makin berat belum diimbangi dengan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Ironi ini menjadi pengingat keras bahwa janji kemerdekaan demi kesejahteraan dan keadilan ekonomi masih jauh dari kenyataan, terutama bagi kelompok masyarakat yang paling rentan dan memerlukan perhatian serius.
Dirgahayu Indonesiaku, lekas pulih ekonomi nasional! (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
