Sengketa Tapal Batas Sidrap: Agus Haris Cari Kasus Serupa ke Daerah Lain (Bagian 2-Habis)
Suasana di Kampung Sidrap yang menjadi sengketa antara Pemkot Bontang dan Pemkab Kutim.-Michael/Disway Kaltim-
BONTANG, NOMORSATUKALTIM - Perjuangan masyarakat Sidrap terus mengalami jalan buntu. Tidak ada kepastian. Berbagai cara sudah dilakukan, hasilnya selalu nihil. Jalan buntu. Tetapi, masyarakat tidak pernah menyerah. Perjuangan itu dipimpin Agus Haris yang saat menjabat wakil wali Kota Bontang.
Perjuangan masyarakat Sidrap terus berlanjut. Agus Haris saat itu sudah duduk di DPRD Bontang. Aspirasi masyarakat tempat tinggalnya terus ia bawa. Pria kelahiran 2 Maret 1972 ini mencoba mencari daerah lain yang memiliki kasus serupa.
Pada 2017 lalu, Agus Haris melakukan perjalanan dinas ke Kabupaten Seram Bagian Barat. Di sana, ia mendapatkan kasus yang serupa. Konflik itu antara Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat.
Kedua kabupaten itu memperebutkan tiga daerah. Yakni Negeri Sanahu, Negeri Wasia, dan Negeri Sapaloni yang berada di Kecamatan Teluk Elpaputih. Keharmonisan di daerah itu terbelah. Bahkan, ada yang sampai memiliki KTP ganda.
Semua itu terjadi karena Undang-undang (UU) nomor 40/2003. Tentang pembentukan kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Aru.
Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal ketika itu membawa sengketa tapal batas itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus itu teregistrasi dengan nomor perkara 123/PUU-VII/2009.
Mahfud MD yang saat itu menjadi ketua majelis hakim di MK, memutuskan ketiga daerah itu masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah. Dalam putusannya, MK menilai pasal 7 ayat 4 dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Kami mendapatkan data untuk kami lakukan pengujian. Saya terus melakukan pengkajian terkait berkas perkara tapal batas di sana. Saya melakukan pengkajian itu juga dengan teman-teman DPRD Bontang,” ucapnya.
Setelah itu, ia meminta untuk dilakukan paripurna terlebih dahulu. Sayangnya, pemerintah Bontang saat itu tidak mau. Akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan paripurna internal di lingkungan DPRD Bontang.
“Saya waktu itu di komisi satu. Beberapa fraksi ketika itu mempertanyakan keabsahan dari kelompok kerja komisi satu. Tapi, alhamdulillah, awalnya beda pemikiran terkait penafsiran hukum, berakhir seluruh anggota DPRD Bontang saat itu setuju,” ucapnya.
Pria yang juga merupakan warga Sidrap itu menceritakan, seluruh anggota legislatif setuju untuk dilanjutkan uji materiil. Disiapkan anggaran Rp 5 miliar. Anggaran itu dari pokok-pokok pikiran secara kelembagaan.
“Tapi anggaran itu juga tidak bisa digunakan. Karena takut jadi temuan BPK. Karena, Sidrap masih wilayah Kutim. Tapi kami terus berjuang. Kami rapat kemana-mana mencari jalan keluar. Mungkin ada 200 kali kami rapat,” ungkapnya.
Sampai akhirnya, ia mendatangkan mantan ketua MK Hamdan Zoelva. Untuk memberikan pencerahan terkait kasus tapal batas Sidrap itu.
Bahkan, ia mengajak Hamdan Zoelva untuk melihat patok-patok batas wilayah antara Bontang dan Kutim.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
