Tato, saat ini bukan menggambarkan kekerasan serta premanisme. Pun begitu juga perempuan bertato, tak selalu identik dengan kenakalan dan keburukan. Tato, adalah bentuk ekspresi jiwa, seni hingga budaya yang ingin ditunjukkan pemiliknya kepada masyarakat luas.
==========
Ariyansah, DiswayKaltim.com
BEGITULAH gambaran diskusi bertemakan “Perempuan dan Tatto: Antara Stigma, Citra dan Estetika” di Son's Coffee di Perumahan Wika, Jumat (9/8). Diskusi dimulai pukul 20.00 Wita hingga sekira pukul 23.00 Wita.
Acara dipandu salah satu mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia (UI) asal Balikpapan, Dea Devita.
Sebagai pemantik diskusi, Azhar Jusardi Putra (mahasiswa Filsafat UGM), Neysha Allaya (mahasiswa jurusan design komunikasi visual), Angelina Restu (female worker) dan Galih Permatasari (aktivis Garbi Balikpapan).
Diskusi ini, menepis segala anggapan miring dan buruk terhadap tato dalam kehidupan bermasyarakat. Di mana, tato bagi sebagian orang selalu dikonotasikan dengan hal buruk. Seperti identik dengan penjahat dan premanisme.
"Ini caraku, untuk menunjukkan seni. Aku juga bisa dibilang orang yang masokhis. Dan membuat tato itu kan sakit, itu juga adalah kesenangan yang aku dapat saat membuat tato. Almarhum Bapak suka tato. Pemaknaan terhadap tato bagi saya, ya seni," kata Neysha.
Meski berasal dari latarbelakang keluarga yang tak asing dengan tato, Neysha mengaku mendapat pertentangan dari keluarga. Ayah dan Ibunya. Seiring waktu berjalan, sikap kontra dari keluarga pun luluh.
"Pertama kali buat tato itu dorongan pribadi. Dan aku bisa mematahkan bahwa perempuan bertato susah dapat kerja. Buktinya aku bisa dapat kerja," imbuhnya.
Lain Neysha, lain Angel. Meski sama-sama bertato, mereka berasal dari latarbelakang berbeda. Angel, dari keluarga yang tabu dengan tato. Namun bagi Angel, sama dengan Neysha, bahwa tato adalah seni dan wujud ekspresi jiwa.
"Sempat dikucilkan di keluarga. Dan bagi saya, kalau ada anggapan bahwa bertato seseorang bekerja enggak lebih baik, itu salah. Karena tato itu lebih pada ekspresi diri," kata perempuan berparas cantik itu.
Oleh Azhar Jusardi, tato dinilai sebagai bentuk perlawanan stigma buruk terhadap tato yang tertempel di masyarakat. Tato, juga lebih bicara tentang kebebasan berekspresi.
"Stigma-stigma (buruk) tentang tato di masyarakat itu jadi tolok ukur dominan. Saya menganggap bahwa tato itu sendiri sebagai perlawanan terhadap stigma di masyarakat itu. Jadi, memang mereka (pemilik tato) punya semacam eksistensi mereka sendiri. Ini soal kebebasan berekspresi. Jadi soal keindahan tubuh, itu mereka sendiri yang merasakan. Bukan ada tolok ukur atau melihat stigma-stigma di masyarakat itu," jelasnya.
Kalau ditinjau dari agama Islam, memang bertato adalah tindakan yang diharamkan. "Dari ajaran yang saya anut, bertato tidak boleh," kata Galih, aktivis Garbi yang hadir dalam diskusi ini.
Namun baginya, dalam hal bersosial, bertato tak menjadi masalah. Asalkan segala tindakan kepada masyarakat selalu mencerminkan hal baik dan positif. "Kita tidak harus menjudge dari covernya. Selama dia (orang bertato baik), tidak melakukan hal kriminal, ya tidak masalah," ungkapnya.
Forum diskusi ini aktif. Para hadirin juga antusias memberikan argumennya soal tato. Mei Christy, salah satu hadirin memberikan pandangannya soal tato dari perspektif budaya. Adat Dayak.
"Tato, kebudayaan kami orang Dayak. Itu tradisi. Bagi orang Dayak, tato adalah identitas diri. Untuk perempuan bangsawan, lebih banyak tatonya. Dan semua tato ada maknanya. Selain identitas, juga menandakan kemampuan. Misalnya dia bisa meramu obat, itu ada tato di tangannya sebagai tanda, bahwa dia bisa meramu obat," jelasnya.
Tato, sambung Mei, adalah budaya yang harus diwujudkan turun temurun oleh keluarga-keluarganya, orang Dayak pada umumnya. Namun budaya bertato, kini seakan ditinggalkan. Karena munculnya stigma buruk di masyarakat terhadap tato. Stigma tersebut muncul di zaman orba (orde baru).
"Tato itu kiblatnya bagi kami ke budaya. Semakin ke sini budaya tato semakin menipis. Karena di zaman orba, yang bertato susah dapat kerja. Perempuan bertato juga dinilai enggak beres. Dan bagi saya, ini karena ada kondisi di mana minimnya informasi yang didapatkan masyarakat,” tuturnya.
Namun demikian, terkait budaya bertato ini, ada juga hal-hal yang harus dihargai. Misalnya agama.
"Dalam tatanan kita, ada yang harus dihargai. Misalnya Agama. Seperti yang disampaikan tadi, bahwa agama Islam melarang. Sehingga, perdebatan antara budaya dan agama memang harusnya dicut. Karena memang enggak akan ketemu," pungkasnya. (sah/dah)