Sejumlah fasilitas kesehatan sudah menerapkan tarif rapid test Rp 150 ribu. Berdasarkan surat edaran Kemenkes RI. Tapi, ada yang masih belum mau terbuka. Juga yang masih menerapkan paket-paket. Tarifnya memang segitu. Tapi ada biaya tambahan lain. Seperti surat kesehatan. Jatuhnya tetap bisa hingga Rp 300 ribu.
--------------------
DISWAY meminta pendapat dr Nataniel Tandirogang. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kalimantan Timur (IDI Kaltim). Terkait beragamnya harga tes cepat antibodi itu. Menurut Nataniel, merek dan kualitas masing-masing alat menentukan besaran biaya.
Ia mengaku, biasa membeli harga alat rapid test di kisaran harga Rp 150 ribu hingga Rp 170 ribu. Namun, ada juga yang lebih mahal dari itu. Biaya rapid test, kata dia, adalah akumulasi seluruh item pemeriksaan. Mulai dari stick rapid, biaya habis pakai alat kesehatan (alkes) seperti masker, sarung tangan, dan alat lainnya. Serta honor pemeriksa. Seluruh akumulasi itu lah yang menentukan besaran harga.
"Biaya rapid test kalau Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, itu masih umum. Tapi kalau sampai Rp 700 ribu itu keterlaluan memang. Kecuali kalau di Mahulu sana karena hitung transportasinya," ungkap Nataniel.
Saat ini, pemerintah telah mengatur batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test. Melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020. Yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Senin, (6/7) lalu. Dalam edaran tersebut, batas biaya rapid, ditentukan maksimal Rp 150 ribu.
Nataniel mendukung aturan tersebut. Hanya saja seharusnya, kata dia, perlu dibuat tenggat waktu penerapan aturan tersebut. Untuk memberi kesempatan pada klinik atau rumah sakit menyesuaikan dengan batasan biaya yang ditentukan.
"Kalau RS sudah stok dengan modal stick rapid Rp 150 ribu misalnya. Belum biaya lainnya. Lalu ditetapkan harga pemeriksaan Rp 150 ribu juga. Ya rugi kan?," keluhnya.
Selain penentuan biaya pemeriksaan. Kata Nataniel, pemerintah juga harus mengatur pengawasan kepada para distributor alat rapid. Ini dilakukan, agar tidak terjadi permainan harga atau pengambilan untung yang terlalu besar oleh para distributor. Karena biaya pemeriksaan, juga tergantung dengan harga bahan baku alat rapid yang diperjualbelikan.
"Seharusnya juga dibuat surat edaran yang mengatur reagent harga sekian. Sehingga orang akan menyesuaikan dengan harga bahan baku," ujarnya.
Sementara terkait akurasi rapid test, Nataniel menjelaskan. Akurasi rapid test ditentukan berdasarkan sensitivitas dan spesivitas. Sensitivitas dan spesivitas rapid test rata-rata di kisaran 50 persen. Ada juga yang bisa mendekati 80 persen. Namun, sangat jarang.
Pada prinsipnya, lanjut Nataniel, kedua sifat ini selalu bertolak belakang. Jika ingin meningkatkan sensitivitas, maka spesivitasnya diturunkan. Begitu pula sebaliknya. Suatu alat jika dilakukan untuk survei, supaya bisa menjangkau banyak, maka sensitivitasnya ditinggikan. Sementara, spesivitasnya diturunkan. Tapi jika ingin dijadikan diagnostik, maka sensitivitasnya diturunkan dan spesivitasnya ditinggikan.
"Nah, rapid test itu tadi kan bukan tujuanya untuk diagnostik. Untuk survei saja. Maka saya sampaikan, tidak pas kalau dijadikan sebagai dasar kebijakan," katanya.
Misalnya untuk mengukur berapa populasi yang pernah terpapar dengan virus COVID-19. Dilihat dari reaksi antibodinya. Karena rapid test mengukur kadar antibodi secara kualitatif.
"Ketika antibodinya terbentuk berarti orang itu pernah terpapar dengan virus COVID. Artinya bahwa apakah dia masih dalam posisi infeksi COVID atau tidak, itu tidak bisa dibuktikan. Sekadar untuk mengukur IgG dan IgM," jelas Nataniel.