Berhitung Untung dari Rapid Tes

Senin 13-07-2020,13:43 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Kemenkes bisa dibilang terlambat. Menentukan tarif rapid tes di klinik atau rumah sakit. Regulasi dan standardisasi tarif tidak turun berbarengan. Di lapangan tarifnya beragam. Rata-rata bisa lebih dari 100 persen angkanya. Dari yang ditetapkan sepekan lalu itu. Belum lagi biaya surat keterangan. Hmm.. Siapa yang paling diuntungkan?  

--------------------

PADA 13 Juni, Micheal F Yacob melakukan rapid tes. Ia berencana berangkat ke Surabaya. Warga Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) ini akan mengikuti pelatihan di kota itu. Sebulan lamanya. Karena persyaratan protokol kesehatan, jurnalis Disway Kaltim ini harus dinyatakan sehat. Sebelum berangkat.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengeluarkan keputusan itu. Pada 7 Mei lalu. Setelah Menteri Budi dinyatakan sembuh dari paparan Coronavirus Disease (COVID-19). Keputusan itu mengharuskan semua orang yang bepergian melalui transportasi udara, laut dan darat harus dites melalui standar khusus. Rapid tes.

Penerimaan di daerah berbeda-beda. Kaltim misalnya, Gubernur Isran Noor membuat edaran dengan syarat yang lebih berat. Harus tes swab bagi para pendatang. Kemudian Pemkot Balikpapan, mengharuskan dua kali rapid tes dengan hasil negatif. Sedikit lebih ringan. Lantaran harga tes swab lebih mahal.

Ketika itu, Michael melakukan tes cepat di RS Hermina Samarinda. Informasinya di tempat itu lebih murah. Biayanya Rp 460 ribu. “Harga tadi sudah termasuk surat keterangan sehat. Kalau cuman rapid saja Rp 350 ribu,” katanya.

Berarti harga surat keterangan sehatnya itu Rp 110 ribu. Harga tersebut tentu tidak sebanding dengan harga kertas dan tinta. Nilai tanda tangan yang berwenang justru yang mahal. Kalau tak ada itu, tidak bisa berangkat.

Tak jauh beda dengan Ariyansah. Warga Balikpapan ini hendak kembali dari Jakarta menuju Kota Beriman. Pada 22 Juni 2020. Ia melakukan tes cepat COVID-19 di RSUD Pasar Minggu. Biayanya Rp 330 ribu. Tanpa membayar lagi surat keterangan sehat. “SIKM sudah disediakan di rumah sakit,” ujarnya.

****

Media ini menelusuri sejumlah klinik kesehatan yang terdaftar di Diskes Kota Balikpapan.  Yang biasa melayani rapid tes.  Sebagian mengaku sudah menurunkan tarif tes cepat tersebut. Itu setelah Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo mengumumkan batas tarif tertinggi yang harus dibayarkan untuk pemeriksaan rapid test antibodi yaitu Rp 150 ribu. Pekan lalu. 

Klinik Prodia misalnya. Baru mendapat keputusan manajemen pusat soal tarif, baru Jumat 10 Juli 2020. Klinik ini pun langsung melakukan pemangkasan biaya. Sesuai surat edaran tersebut. Namun, sebelum adanya surat edaran dari Kemenkes, klinik ini mematok harga Rp 250 ribu per sekali tes.

"Kita sejak 9 Juli sudah menerapkan harga sesuai surat dari Kemenkes dan itu keputusan pusat kita," ujar Regional Head Klinik Prodia, Muhammad Rizal.

Menurut Rizal, untuk urusan untung atau rugi itu menjadi kewenangan manajemen Klinik Prodia. Seluruh daerah hanya bisa mengikuti kebijakan pusat. "Kalau di kita menggunakan immunoassay ya, jadi sekali periksa bisa 200 sempel. Jadi biaya oprasional tidak banyak. Berbeda dengan yang pada umumnya. Yang chip atau kotak," jelasnya.

Alat rapid tes yang dimiliki klinik ini, juga didistribusikan langsung dari pusat. Jumlah tiap bulannya yang dikirim sekitar 400-500 kit. Karena di Balikpapan, tiap minggunya terdapat sekitar 90-120 orang yang melalukan tes rapid di Klinik Prodia. "Mereknya Kobas Eleksis dari PT ROS yang didatangkan dari luar negeri," ujarnya.

Rizal menjelaskan, jika immunoassay tidak membutuhkan cairan tambahan yang banyak. Uji semplingnya bisa banyak. Bisa ratusan. Sedangkan chip atau kotak, masih membutuhkan cairan tambahan, seperti reagen. Harganya lebih mahal. Juga tidak bisa dalam jumlah banyak.

Tags :
Kategori :

Terkait