Mengutik Upah Giling

Kamis 09-07-2020,21:33 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU) merencanakan untuk membangun pabrik pengolahan padi. Rice milling unit (RMU). Dikelola langsung melalui Perusahan Umum Daerah (Perumda). Pengusaha lokal meradang. Menjadi pesaing baru. Lalu bagaimana nasib petani?

------------------

KAJIAN serta rancangan peraturan daerah (raperda) terkait RMU hingga saat ini juga terus dibahas. Namun begitu, program tersebut menuai penolakan dari masyarakat. Salah satunya ialah masyarakat yang tergabung di Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi (Perpadi). Totalnya ada 58 pengusaha.

"Kenapa pemerintah mengadakan alat yang kapasitasnya besar. Padahal di PPU ini tidak kekurangan alat. Itu yang kami takutkan, usaha kami mati," ujar Hamim Tohari, salah satu pengusaha penggilingan padi, ketika ditemui Rabu (8/7).

Mereka menduga akan terjadi persaingan yang tidak sehat, antar pengusaha lokal dan Perumda yang mengelola penggilingan berbasis rice milling unit (RMU) ini. "Kalau Perumda itu hidup, kita yang mati. Kalau kita hidup, perusda itu yang mangkrak. Kecuali ada penambahan areal tanam, beda hasilnya," katanya.

Selain itu, mereka juga mempertanyakan dasar studi yang digunakan dalam perencanaan ini. Hari, sapaannya menyebutkan, hingga saat ini juga masih kekurangan gabah untuk diolah. Belum lagi jika ditambah dengan adanya pabrik milik pemerintah.

"Kapasitas yang ada di Babulu sudah lebih dari cukup. Kalau ada alat baru, bisa jadi nanti akan terjadi kompetisi yang tidak sehat," jelasnya.

Pelaku usaha yang tergabung dalam Perpadi itu meminta, adanya kerja sama yang terbangun antara Perpadi dan Perumda. Jika pemerintah tetap berkeinginan untuk membangun pabrik ini. "Kita dilibatkan dalam perembukan, dan untuk mensejahterakan petani, kita pasti mendukung," katanya.

Senada, Sekretaris Perpadi, Buchari menjelaskan, pihaknya hingga saat ini masih kesulitan dalam mempertahankan usaha penggilingan ini. Ia mengatakan, jika kualitas yang mereka hasilkan masih kurang, maka seharusnya pemerintah merencanakan untuk mendukung hal itu.

"Apalagi anggaran yang digelontorkan ini besar. Kami sangat berterimakasih, tapi jangan dengan cara bersaing seperti ini. Harusnya bermitra," ungkapnya.

Hal yang paling sering dialami pelaku usaha, ialah permodalan. Itu yang menyebabkan pihaknya kalah bersaing dengan pengusaha dari luar daerah. Yang mau membayar lebih. "Modal kerja kami sangat terbatas. Kami hanya bermitra dengan bank, tapi terbatas," ucap Buchari.

Terkadang, keterbatasan petani juga turut mereka tanggung. Semisal petani meminta bantuan untuk kebutuhan pupuk atau biaya operasional saat panen. "Ini buka ijon. Tapi kami membantu mereka karena mereka memerlukannya. Lalu sebagai gantinya kami ambil gabah mereka. Itu juga sesuai harga yang kami sepakati," jelasnya.

Untuk gabah dari petani, 58 pengusaha yang ada di Kecamatan Babulu sudah memiliki kesepakatan harga bersama dengan petani. Yaitu Rp 3.700 per kilogramnya. "Sesuai arahan Bulog, 3.700 gabah kering panen dari sawah," katanya.

Buchari menyebutkan, pihaknya hanya mendapatkan untung bukan dari hasil penjualan beras. Namun hanya dari upah penggiling sekira Rp 200 per kilogramnya. "Jadi kami dari penggilingan tidak mendapat keuntungan dari penjualan beras. Hanya upah giling saja," ungkapnya.

Tags :
Kategori :

Terkait