Kenormalan Baru dan Keterbukaan Informasi Publik

Kamis 04-06-2020,14:10 WIB
Oleh: bayong

Sejalan dengan itu, kenormalan baru merupakan implementasi strategi total-football yang secara efektif menggabungkan pola menyerang dan bertahan secara simultan. Kehidupan perekonomian (produksi, distribusi, dan konsumsi) mestilah tetap berjalan. Riset untuk menemukan vaksin tetap diupayakan serius. Dan dalam keseluruhan itu, penerapan protokol kesehatan adalah prioritas yang mesti dipatuhi.

Dengan demikian, kenormalan baru boleh jadi adalah preferensi dengan cacat yang minimal di tengah kesulitan memprediksi redanya pandemi. Mimpi buruk yang yang dikhawatirkan semua pihak ialah lumpuhnya perekonomian nasional. Sementara para ahli masih berlomba menemukan vaksin virus tersebut.

Dengan menimbang uraian tersebut, maka kenormalan baru dapat dimaknai sebagai sebuah exit-strategy dari situasi saat ini. Adanya kesulitan dalam melakukan prediksi berakhirnya pandemi, belum ditemukannya vaksin COVID-19, serta kebutuhan untuk terus melanjutkan kehidupan (perekonomian) adalah realitas yang menuntun menuju kenormalan baru ini.

Kendati demikian, penerapan kenormalan baru kiranya dilakukan tidak secara impulsif. Melainkan dengan ekstra hati-hati dan sangat selektif. Dengan mengacu pada kurva-grafik COVID-19 di masing-masing daerah. Sebab jika dilanggar, dapat berakibat kontraproduktif terhadap penanganan COVID-19 yang berpotensi memicu terjadinya outbreak.

***

Menurut hemat saya, pemberlakuan kenormalan baru kiranya dapat mempertimbangkan lima syarat elementer. Pertama, harus ada data valid mengenai gradasi infeksi COVID-19 di tengah masyarakat. Khususnya basic reproduction number virus di wilayah tersebut. Dalam hal ini, studi epidemiologis dan kesiapan regional sangat diperlukan. 

Kedua, tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan yang sudah baik. Bila kedisiplinan ini masih rendah, tentu sangat rentan terhadap munculnya “gelombang balik” yang kian mencemaskan. Dengan kedisiplinan masyarakat dalam menjalani perilaku sosial (phisycal distancing), kita berharap penerapankenormalan baru akan mustajab.

Ketiga, kesadaran warga dalam menjalankan pola hidup sehat dengan selalu memerhatikan kesehatan. Cuci tangan, pakai masker, olahraga teratur, dan sebagainya, pada saatnya mesti menjadi suatu pembiasaan yang bertumbuh dalam masyarakat. Ini akan menjadi pola hidup baru dan menjadi prasyarat bagi keberhasilan kenormalan baru.

Keempat, dibutuhkan regulasi yang jelas dan tidak ambigu. Aturan ini akan menjadi landasan bagi seluruh pihak untuk beraktivitas dan bekerja di lapangan. Di sini akan diatur hak dan kewajiban warga negara dalam kerangka pengendalian COVID-19. Bahkan perlu ada sanksi bagi yang tidak mematuhi protokol yang diatur dalam regulasi tersebut. Misalnya sanksi bagi yang tidak menggunakan masker.

Kelima, penegakan hukum yang seadil-adilnya. Dengan adanya regulasi sebagaimana poin keempat, maka aparat yang bertugas di lapangan memiliki pegangan dan dilindungi hukum negara dalam menegakkan aturan. Misalnya tentang penggunaan masker tadi.

Dengan kelima aspek tersebut, implementasi kenormalan baru dalam kehidupan publik diharapkan efektif. Pengawasan oleh pihak yang kompeten dibuka seluas-luasnya. Pendekatan persuasif dan manusiawi patut dikedepankan sembari menafikan arogansi dan penggunaan kekerasan dalam penegakan norma kenormalan baru itu. (*Penggiat Literasi dan Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Timur)

Tags :
Kategori :

Terkait