Tapi itu hanya pemicu. Akarnya sangat dalam: hubungan antar-ras.
Karena itu salah satu sasaran demo tersebut adalah patung. Di Amerika --di beberapa tempat-- masih berdiri patung tokoh konfederasi.
Patung itulah yang kini jadi sasaran. Ada yang dirobohkan ramai-ramai. Atau dicoreti kata-kata kotor.
Itulah patung yang dibangun untuk mengobati kekecewaan lama: gagalnya usaha 13 negara bagian di Selatan untuk merdeka dari Amerika Serikat.
Wilayah-wilayah Selatan itu mengizinkan perbudakan. Orang kulit putih jadi juragan, orang kulit hitam jadi budak. Perbudakan itu dihapus oleh Presiden Abraham Lincoln --dari wilayah utara.
Orang Selatan itu bersatu mendirikan negara Konfederasi Amerika. Negara baru itu punya bendera sendiri --yang masih sering dikibarkan di acara-acara kampanye besar Donald Trump.
Abraham Lincoln mengerahkan pasukan untuk memerangi separatis itu. Terjadilah perang sipil. Selama empat tahun: 1861-1865.
Selatan kalah. Amerika Serikat kembali utuh --di permukaan.
Naiknya Barack Obama --kulit hitam-- sebagai Presiden Amerika sangat mengecewakan pemuja kulit putih.
Ucapan-ucapan Donald Trump selama ini sering dinilai membela supremasi kulit putih.
Itu mengingatkan luka lama.
Padahal --seperti dalam buku ”Patahan Garis Politik”-nya Randu Alamsyah-- ”luka lama itu perlu diingat hanya untuk merasakan pedihnya”.(Dahlan Iskan)
sumber: disway.id