Mayoritas Usulan Restrukturisasi Belum Disetujui Perbankan

Minggu 31-05-2020,11:05 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Samarinda, DiswayKaltim.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur restrukturisasi kredit bagi masyarakat terdampak COVID-19 melalui Peraturan OJK Nomor 11 (POJK11).  Secara nasional, sudah ada 95 bank umum konvensional dan syariah yang telah melakukan restrukturisasi.

15,2 juta debitur dengan nilai Rp 1.308,1 triliun mengajukan keringanan. Dari jumlah tersebut, baru 4,9 juta debitur disetujui dengan nilai mencapai Rp 458 triliun. Dari jumlah yang telah disetujui tersebut, sektor UMKM mencapai 4,2 juta debitur dengan nilai mencapai Rp 225,1 triliun.

Kepala OJK Kaltim, Made Yoga Sudharma, Jumat (29/5/2020) mengatakan, kondisi perbankan secara nasional, terjaga. “Dengan rasio NPL gross dan net di kisaran 2,89 persen dan 1 persen,” jelasnya.

Sedangkan permodalan perbankan rata-rata 22,42 persen pada posisi April 2020. Di sisi perusahaan pembiayan, non performing financing (NPF) berada di kisaran 2,75 persen.

Di Kaltim, jumlah rekening yang terdampak  mencapai 133.489 rekening senilai Rp12,9 triliun. Dari jumlah tersebut, telah dilakukan restrukturisasi sebesar 21.477 rekening. Dengan total nilai sebesar Rp2,9 triliun.

UMKM yang berpotensi terdampak adalah sebanyak 100.663 rekening senilai Rp 4,856 triliun. Dari UMKM yang berpotensi terdampak tersebut, 37.372 rekening telah mengajukan keringan dengan total nilai restruktur sebesar Rp 2.224 triliun.

Dari jumlah yang mengajukan keringanan tersebut, 17.735 rekening senilai Rp 1.359 triliun telah disetujui. Di satu sisi, terdapat 342 rekening senilai Rp26,5 miliar yang tidak disetujui.

“Sektor ekonomi yang paling terdampak adalah perdagangan besar dan eceran di mana sejumlah 31.957 rekening telah mengajukan restrukturisasi senilai Rp 2,2 triliun. Dari sejumlah tersebut, telah disetujui 14.392 rekening senilai Rp1,7 triliun,” tambah Made.

Made juga menyebut dalam proses pengajuan restrukturisasi ada beberapa kesulitan yang dialami perbankan. Pertama, kesulitan komunikasi antara bank dengan debitur. Karena hanya dapat dilakukan melalui telepon, sehingga proses persetujuan restrukturisasi memerlukan waktu lebih lama.

Kedua, kesulitan proses identifikasi dan penyampaian berkas administrasi dokumen yang belum lengkap. Padahal ini diperlukan sebagai bukti bahwa usaha debitur  terdampak COVID-19 atau tidak. Kendala lain adalah kesulitan pelaksanaan akad restrukturisasi sehubungan dengan diterapkannya local lockdown untuk calon debitur yang sedang berada di luar kota.

Setelah pengajuan restrukturisasi pun, tidak semua permohonan dapat dikabulkan. Tak sedikit pengajuan restrukturisasi debitur yang ditolak atau tidak disetujui oleh bank. Ini terjadi kerena beberapa alasan. Di antaranya berdasarkan penilaian internal bank, debitur tidak masuk kategori untuk diberikan restrukturisasi. Debitur tidak berkenan dengan skema penundaan angsuran yang ditetapkan oleh bank.

“Atau, debitur sudah memiliki tunggakan sebelum pandemi COVID-19, yang telah dikategorikan kredit macet,” ujarnya.

Terakhir Made menjelaskan, bentuk relaksasi oleh perbankan berupa perubahan pola pembayaran pokok atau keringanan melalui penundaan bunga tanpa atau dengan rescheduling pokok pinjaman. Kemudian perpanjangan jangka waktu kredit dan penurunan pembayaran angsuran per bulan melalui penambahan tenor kredit maksimal 12 bulan.

Pemberian grace period yakni pembayaran bunga saja selama periode tertentu yang ditentukan. Dan penundaan angsuran pokok dan bunga atau margin bagi hasil pinjaman. Minimal 6 bulan dan maksimal 12 bulan bagi yang terdampak berat, terutama UMKM. (krv/yos)

Tags :
Kategori :

Terkait