Tekuni Bisnis dari Hobi, Tidak Mau Bergantung Marketplace

Selasa 21-04-2020,12:09 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Beberapa produk Ditz, brand fesyen Samarinda dengan menggaet pasar anak muda. Bertekad menjadi ikon brand lokal di Kota Tepian. (Dian Adi/Disway Kaltim) ------------------------------------------ Dari hobi mengoleksi baju distro, Adhytya Nugraha kini punya brand clothing sendiri. Itu bermula karena ia selalu kesulitan mencari ukuran baju yang pas untuknya. Khajjar Rohmah, Samarinda -------------------------------------------------------- Samarinda, DiswayKaltim.com - Ukuran baju Adit, sapaannya, memang tergolong susah untuk kaos produksi distro yang kebanyakan small size. Sembilan tahun lalu, Adit mencoba mencari solusi. Terpikir untuk membuat baju dengan merek sendiri. Naluri bisnisnya muncul seketika. Hingga akhirnya pada pada 22 Desember 2011, Ditz, brand clothing miliknya berdiri. Awalnya, Adit menggunakan nama Blackorchids. Namun diubah menjadi Ditz pada akhir 2016 lalu. "Karena nama Blackorchids ada yang sama di luar negeri. Saya kan mikirnya jangka panjang, dari pada ke depan bermasalah, jadi lebih baik saya ganti," ujar Adit, kepada Disway Kaltim, Minggu (19/4). Ia pun menyebut, nama Ditz, tidak memiliki arti khusus. Nama tersebut diambil dari panggilan singkat namanya; Dit. Selain itu, nama Ditz dinilai lebih simpel dan mudah diingat. Dengan harapan, produknya akan selalu diingat oleh masyarakat. Baju-baju dengan ukuran sesuai yang ia inginkan pun coba dijual ke beberapa teman. Ternyata animo cukup baik. Ia bisa menjual baju sebanyak satu hingga tiga lusin. Akhirnya, ia mendirikan brand clothing dan menjualnya secara online selama 4 tahun. Kini, Ditz sudah memiliki distro sendiri di Jalan M Yamin No. 82 C Samarinda. Dengan beberapa produk di antaranya kaos, topi, hoodie, dan celana. Ia pun fokus melakukan penjualan langsung di distronya. Laman website lebih difokuskan pada pemasaran. Adit menyebut tidak berminat melakukan penjualan online di marketplace yang sedang berkembang pesat saat ini. Seperti platform Shopee, Tokopedia, Buka Lapak dan lain sebagainya. Ia menyebut tidak ingin ketergantungan pada marketplace. "Karena pelanggan kita yang kelola kan mereka. Saya enggak mau," akunya. Proses produksi baju distro Ditz dilakukan di Bandung. Hanya desain dan konsep yang ia rancang bersama tim. Proses produksi yang dilakukan di Bandung karena pertimbangan biaya produksi yang lebih murah. Dengan kualitas yang bagus. "Di sini belum ketemu vendor yang cocok. Kalau pun ada, harganya kurang kompetitif," ujarnya. Proses produksi dilakukan sekali selama 3 hingga 4 bulan. Dengan kapasitas produksi 12 pcs untuk produk kaos dan celana. Dan 24 pcs khusus untuk produk hoodie dan topi. Adit mengatakan, sengaja membatasi jumlah produksi agar jumlah produk yang sama tidak terlalu banyak "Biar limited edition lah istilahnya. Kalau banyak yang sama kan nggak asyik," ucapnya. Target pasarnya adalah anak muda. Terutama siswa SMA dan mahasiswa. Dengan harga jual mulai dari Rp 145 ribu untuk produk topi. Hingga yang paling mahal, dengan harga Rp 350 ribu untuk produk hoodie. Ia pun menyebut, bisnis clothing di Samarinda memiliki prospek yang cemerlang, karena brand lokal kini juga mulai diminati. Walau pun diakui Adit, bisnisnya bukan tanpa kendala. Produksi yang dilakukan di luar daerah, membutuhkan waktu yang lama. Minimal 4 minggu hingga 2 bulan. Karena harus antre produksi. Akibatnya, kadang Ditz, tidak bisa mengikuti tren fesyen yang sedang berkembang karena terkendala proses produksi. Belum lagi, jika kondisi sedang sepi. Seperti saat pandemi COVID-19 ini. Penjualannya pun ikut terdampak signifikan. "Kalau hari normal, sebulan bisa 15 sampai 20 pembelian. Sekarang ya turun," keluhnya. Untuk menjalankan bisnisnya, Adit dibantu oleh lima orang tim. Ia bersama dua orang temannya sebagai pengelola. Dua orang di bagian marketing dan fotografer. Dan satu orang karyawan distro. Ke depan, Adit berencana membuka cabang di Tangerang untuk mengembangkan brand lokal Samarinda. "Peminat clothing-an di Tangerang besar. Apalagi untuk brand lokal. Bahkan ada komunitasnya di sana," terangnya. Ia pun berharap, brand clothing-nya bisa semakin berkembang. Dan menjadi ikon brand di Kota Tepian. Karena sejauh ini, menurutnya, belum ada ikon brand clothing yang paling dikenal di Samarinda. (krv/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait