Selama lebih dari sepuluh tahun, masyarakat Kalimantan Timur mengenal Agusdin sebagai aktivis lingkungan. Ia menjaga Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) dari perambah dan kebakaran lahan. Agusdin juga dikenal sebagai inisiator Tim Serbu Api, yang kelak dilembagakan menjadi Masyarakat Peduli Api. Kerja sosialnya berlanjut sebagai penggerak masyarakat sekitar hutan. Ia membentuk kelompok tani tumpangsari, dan kerajinan daur ulang. Tapi belum banyak yang tahu, Agusdin satu-satunya pemandu wisata pengamatan burung (bird watching) di Kalimantan. Lantas, dengan sepak-terjangnya itu, mau dikenang sebagai apa Agusdin? Persentuhan Agusdin dengan hutan, sebenarnya merupakan hal yang lumrah saja. Sama seperti kebanyakan masyarakat pinggiran Balikpapan, dia lahir dan besar di sekitar hutan. Namun kepeduliannya muncul ketika menyaksikan perambahan hutan secara besar-besaran terjadi di depan matanya. “Waktu itu saya masih SMA,” kenang pria 49 tahun ini. Tak ingin eksploitasi hutan berlangsung tanpa kendali, selepas SMA, Agusdin bergabung dengan kelompok relawan. Dari situlah, kerja-kerja penyelamatan lingkungan mulai dia lakukan. “Saat itu saya mulai kenal dengan teman-teman yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan,” katanya. Belakangan, dia juga diajak salah satu pegiat lingkungan, Gabriella Frederikkson. Perempuan asal Swedia itu tertarik dengan Agusdin yang mengenal dengan baik kawasan HLSW. Pada saat itu, Gabi sedang meneliti flora dan fauna HLSW, sebelum mengadvokasi perlindungan kawasan konservasi itu. Kerja sama dengan Gabi itu membuat pengetahuan Agusdin tentang hutan lindung makin banyak. Juga, kemampuan dalam mengorganisasi masyarakat, supaya menjaga kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan. Di sisi lain, Agusdin juga membangun jejaring dengan para pegiat lingkungan dari dalam dan luar negeri. Kebakaran besar yang melanda HLSW tahun 1998 menjadi titik balik bagi Agusdin untuk melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan. Bukan saja supaya tidak merambah hutan, atau menghalau penebang dari luar. “Tetapi juga menjaga hutan dari bencana kebakaran,” katanya. Hal itu penting, mengingat masyarakat di sekitar hutan menjadi pihak yang paling dekat dengan hutan. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran, mereka akan terdampak lebih dulu. Karena itu, membekali warga setempat dengan pengetahuan penanganan kebakaran sangat penting. Agusdin masih ingat, kemarau panjang menjelang reformasi akibat El Nino, menyebabkan kebakaran hutan yang sangat luas dengan durasi panjang. “Bisa dibilang, itu kebakaran hutan terburuk di Kalimantan Timur karena terjadi sepanjang bulan Maret hingga Mei,” katanya. Api melumat sekitar 3.000 hektare lahan hutan inti, menyebabkan ribuan jenis flora dan fauna endemik mati. Untuk memadamkan kobaran api, ratusan warga ikut dikerahkan. Siang malam, secara bergantian membantu petugas pemadam kebakaran yang jumlah dan peralatannya masih terbatas. Meski api yang melalap pepohonan berhasil dipadamkan, masalah tak sertamerta selesai. Muncul puluhan titik api dari dalam tanah. “Bara api muncul dari bongkahan batu bara yang selama ini terlindungi pohon,” katanya. Memadamkan api dari batu bara yang terbakar, jelas lebih sulit dibandingkan pohon. Warga harus pintar memilih tanah yang pas untuk pijakan, untuk menghindari panas. Selain itu, minimnya sumber air di lokasi kebakaran juga menyulitkan pemadaman. Supaya tak terus meluas, Agusdin mengajak masyarakat menggali tanah yang belum terbakar, membuat parit. Cara itu ia lakukan selama berhari-hari untuk melokalisasi api. “Total butuh waktu empat tahun untuk melokalisir api dari batu bara,” ujarnya. Peristiwa itu akhirnya menyadarkan perlunya warga sekitar hutan memiliki keterampilan memadamkan kebakaran. Agusdin kemudian berinisatif melatih dan memfasilitasi pembentukan pengamanan swakarsa, serta Tim Serbu Api. Komunitas ini bertugas menjaga hutan, dan mencegah kebakaran. Kemampuan dalam memadamkan kebakaran lahan membuatnya terpilih dalam sebuah program pelatihan di Riau. Bersama para perwakilan dari seluruh Indonesia, Agusdin diterjunkan dalam kebakaran di daerah itu. Selama sebulan dia turut serta dalam tim pemadam kebakaran lokal. Namun hanya sedikit dari peserta pelatihan yang bertahan sampai selesai. Termasuk Agusdin. “Kami diterjunkan dalam kawasan kebakaran besar di Riau. Sekitar seminggu tak bisa berganti baju, dan susah air bersih,” katanya. Latihan ini menambah pengetahuannya soal pengendalian kebakaran lahan, serta survival di lokasi bencana. Ketika kebakaran besar kembali melanda HLSW tahun 2015, Agusdin dan Tim Serbu Api sudah siap. Tim ini mendukung pemadaman yang dilakukan pemerintah dengan memberikan data titik api (hotspot). Dampaknya, jumlah kawasan yang terbakar menurun. Dari 3.000 hektare di tahun 1998, menjadi 800 hektare. Menjaga HLSW, Menjaga Sumber Air Berdasarkan penetapan pemerintah pada tahun 1980, Hutan Lindung Sungai Wain ditetapkan seluas 10.025 hektare. Namun Kementerian Kehutanan pada 1995 merevisi luasnya menjadi hanya 9.782,25 hektare. Ada pengurangan sekitar 240 hektare, atas usulan daerah, lantaran sebagian kawasan sudah menjadi permukiman. Pengurangan itu pada lokasi yang dekat dengan jalan raya. “Dulu batas HLSW nempel di jalan raya. Kemudian atas usulan Balikpapan, dikurangi 500 meter dari badan jalan untuk antisipasi konflik. Ada permukiman, kebun dan lainnya,” imbuh Agusdin. Ketika HLSW masih dikelola oleh Badan Pengelola, pernah mengusulkan perluasan lahan sampai 11 ribu hektare. Saat itu ada koridor milik Inhutani di Bukit Batu Ampar, tidak dimanfaatkan. Terlantar. Oleh BPHLSW tahun 2011 diusulkan jadi hutan tambahan. Usulan itu kemudian disetujui dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan Nomor 3922 tentang penetapan HLSW menjadi 11.245 hektare. Usulan penambahan luas itu sesungguhnya untuk melindungi sumber air yang menjadi bahan baku air bersih masyarakat Balikpapan. “Melindungi HLSW itu sama saja menjaga sumber air bersih,” kata Agusdin. Di kawasan HLSW memang ada waduk yang airnya menyuplai kebutuhan Pertamina. Namun di sisi lain, HLSW juga menjadi daerah tangkapan air. Ada dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terhubung dalam kawasan hutan. Karena itu, Agusdin melibatkan masyarakat yang tinggal di pinggir hutan agar tak merusak kawasan konservasi itu. Caranya dengan melibatkan mereka sebagai tenaga pengamanan, membuat kelompok sadar wisata, sampai melatih membuat kerajinan dari bahan daur ulang. Masyarakat menjual barang-barang kerajinan kepada para wisatawan yang berkunjung, maupun pada perusahaan yang peduli pelestarian lingkungan. “Pemerintah memang mengizinkan sebagian kawasan ini sebagai fasilitas wisata pendidikan lingkungan. Dan masyarakat di sekitar hutan sudah dilatih menjadi pemandu,” katanya. Agusdin pula yang menjadi ketua Pokdarwis (kelompok sadar wisata). Mengajak wisatawan menyusur trek HLSW dan menyaksikan flora dan fauna asli. Kawasan HLSW merupakan satu-satunya lokasi wisata penelitian yang masih punya koleksi hewan dan tumbuhan endemik paling banyak. Karena itu tak heran jika banyak peneliti asing mempelajari hutan tropis ini. “Pemanfaatan untuk wisata ini salah satu cara supaya warga tetap menjaga kelestarian hutan,” imbuh Agusdin. Dia bilang ancaman perambahan HLSW masih ada sampai saat ini. Bukan saja berasal dari penebang pohon, tetapi juga dari para pemburu. Saat ini akses ke HLSW sudah semakin mudah. Dari arah mana saja sudah masuk, akses semakin terbuka. “Orang bisa ambil kapan saja karena terbuka hampir di seluruh bagian. Pengamanan kami sangat minim,” katanya. Saat ini HLSW hanya dijaga oleh sembilan tim pengamanan. Minimnya jumlah tim pengamanan membuat pemburu bisa mengambil kesempatan. “Mereka memanfaatkan kelengahan pengamanan saat patroli. Bayangkan saja, perlu waktu seminggu untuk kembali ke titik awal. Celah ini dimanfaatkan mereka (pemburu),” ucap Agus. Idealnya, kata dia perlu 20-30 orang sehingga bisa menempatkan personel selama 24 jam. Bird Watching dan Regenarasi HLSW menyimpan kekayaan alam yang sangat besar. Diantaranya adalah hewan langka yang hanya dijumpai di Kalimantan. Pria yang hampir 30 tahun mengawal HLSW ini tahu, keberadaan binatang endemik itu menjadi salah satu incaran pemburu. “Jenis mamalia saja ada 60-an, dengan familia mencapai 80 lebih. Ini salah satu kekayaan yang harus kita jaga,” ujarnya. Makanya banyak peneliti luar negeri yang mempelajari HLSW. Mereka mengamati satwa kategori langka, dan eksotik di dunia. Meski cukup senang, namun Agusdin prihatin karena data tentang karakter binatang itu tidak dipublikasikan di Indonesia. “Paling kita hanya disetor data saja. Ini loh hewan di kamera. Tapi kita nggak pernah tahu karakter hewan ini bagaimana, nasib dia dengan kawasan, apakah dia bisa bertahan dengan kondisi hutan. Ini belum ada peneliti lokal,” katanya. Karena itulah, sejak tahun lalu, Agusdin mengajak para peneliti muda untuk melakukan pengamatan lebih dalam. “Sekaligus mencari kader yang akan melanjutkan upaya pelestarian lingkungan,” katanya. Agus mengaku cukup resah karena masih sedikit peneliti lokal yang mengumpulkan data dan menganalisis flora dan fauna HLSW. Ia juga tengah berjuang mempopulerkan wisata pengamatan burung alias bird watching. Di Asia Tenggara, komunitas ini sudah terbentuk dan kerapkali mengadakan kegiatan pengamatan bersama. “Saya berharap bisa membawa komunitas ini ke Balikpapan, karena di sini paling lengkap,” katanya. Dia berharap pariwisata berbasis lingkungan mampu mendorong masyarakat tidak lagi memanfaatkan hasil hutan melainkan mengambil jasa dari keberadaan hutan. “Masyarakat tidak perlu merusak hutan. Dengan menjadi pemandu, kita punya nilainya lebih tinggi sekaligus melestarikan hutan,” imbuh Agusdin. “Saya ini masyarakat biasa yang kebetulan tinggal di pinggir hutan,” kata Agusdin saat menjawab pertanyaan saya di awal liputan ini. (eny) Nama: Agusdin Tempat, tanggal lahir : Balikpapan, 9 Februari 1971 Alamat : Sei Wain, Balikpapan Utara Aktivitas: Manajer Pro Natura Balikpapan Ketua Pokdarwis Sei Wain Pendiri Tim Serbu Api Sei Wain Tropenbos Bos-F Penghargaan: Penerima Penghargaan Kalpataru Kategori Pengabdi Lingkungan 2006 Penerima Satya Lencana Pembangunan 2015
Agusdin: Menjaga Wana Sampai Senja
Sabtu 28-03-2020,05:30 WIB
Editor : Yoyok Setiyono
Kategori :