Jangan Salah Tafsir, Begini Penjelasan Tim Hukum Bulan-Fathra Terkait Putusan MK 176

Senin 07-04-2025,14:35 WIB
Reporter : Teodorus Usman Wanto
Editor : Baharunsyah
Jangan Salah Tafsir, Begini Penjelasan Tim Hukum Bulan-Fathra Terkait Putusan MK 176

MAHULU, NOMORSATUKALTIM - Putusan MK Nomor 176/PUU-XXII/2024 menuai beragam tafsiran di masyarakat. Termasuk dalam proses PSU di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu).

Tim Hukum pasangan calon nomor urut 02 Novita Bulan-Artya Fathra Martin (Bulan-Fathra), Stanislaus Nyopaq, turut memberikan tanggapan terkait Putusan MK, yang dibacakan pada tanggal 21 Maret 2025 lalu itu.

Ia berpendapat bahwa, Putusan tersebut menguji Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dengan demikian, ia menekankan pentingnya pemahaman yang benar atas putusan tersebut agar tidak terjadi kesalahan tafsir dalam praktik hukum dan politik.

“Putusan MK tersebut menyatakan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat."

"Sepanjang tidak dimaknai mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum,” ujar Stanis dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/4/2025).

Ia menegaskan bahwa publik dan para pemangku kebijakan harus memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi sebelum menafsirkan isi putusan.

BACA JUGA:Pengamat Politik Unmul Sarankan Penyelenggara Pilkada Tak Menafsirkan Sepihak Putusan MK 176

“Sama seperti hukum pidana, kita tak bisa hanya berpatokan pada KUHP tanpa memahami KUHAP. Jika dilakukan, penegakan hukum bisa menjadi kacau dan menyesatkan,” ujarnya.

Stanis juga menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif berwenang melakukan judicial review, dengan peran sebagai negative legislator.

Dalam arti, dapat membatalkan norma hukum yang bertentangan dengan konstitusi, namun tidak berwenang membuat norma baru.

“Putusan MK memang dapat membatalkan suatu pasal, ayat, atau bagian dari UU jika bertentangan dengan UUD 1945. Bagian tersebut tetap tertulis dan berlaku secara formal (validity), tetapi tidak lagi dapat digunakan secara hukum (efficacy) hingga ada pengaturan lanjutan,” tuturnya.

Ia juga menyebutkan bahwa putusan MK terdiri dari dua jenis: pertama, putusan yang dapat langsung dilaksanakan tanpa perlu peraturan lanjutan.

Kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Karena itu, dalam hal ini Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang wajib menindaklanjuti putusan MK dengan melakukan perubahan terhadap substansi UU yang terdampak,” jelasnya.

Kategori :