"Jadi pola transisi energi sebagai bagian bentuk patriarki yang dilakukan oleh sistem, dimana posisi negara sebagai pemberi izin itu layaknya tokoh patriarki. Adapun yang paling pertama menjadi barisan ‘tumbalnya’ adalah perempuan dan anak-anak," urai perempuan yang akrab disapa Eta ini.
Selain Mareta, Rinayati (48) seorang perempan dari kelompok tani Desa Geleo Baru, Kutai Barat juga hadir dalam aksi. Dia menyuarakan menolak kehadiran perusahaan tambang batu bara di lokasi tempat tinggalnya.
BACA JUGA:Respons Jatam Kaltim Atas Pencatutan Nama Organisasi pada Disertasi Bahlil
Lantaran, kampung warga Desa Geleo Baru di kaki Gunung Layung selama ini menjadi sentral produksi hasil pertanian dari sayuran, buah-buahan dan perkebunan karet. Adapun perjuangannya adalah melindungi gunung tersebut yang menjadi sumber air dan hulu-hulu sungai, untuk menghidupi kampung-kampung sekitar.
"Banyak praktik-prakrik baik yang dilakukan perempuan untuk membicarakan kondisi daerah dan mengenai pilihan untuk tidak menggantungkan diri pada industri ekstraktif, memilih pertanian," imbuhnya.
Kembali ke Eta, dia juga mencontohkan upaya yang dari seorang perempuan di daerah Sanga-Sanga yang menolak bekerja di perusahaan tambang batu bara, karena alasan tidak ingin merusak lingkungan.
"Memilih untuk berdagang dari buah sukun, usaha menjual pakaian, selain itu dia memilih untuk tidak menjadi buruh di pertambangan dengan alasan, kalau jadi buruh pertambangan saya merusak tanah air saya gitu, saya tidak ingin menjadi bagian yang ikut merusak lingkungan," tuturnya.
Bagi Eta, perjuangan perempuan kedepannya akan lebih berat. Namun ia menyakini perjuangan yang dilakukan perempuan adalah untuk kemanusiaan.
"Perjuangan kemanusiaan adalah perjuangan untuk kehidupan masa depan yang diimpikan oleh perempuan. Jadi saya harap kita masih punya tenaga dan punya energi bersama untuk berjuang," tutup Eta.