Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 Meningkat, Namun Masa Depan Kebebasan Pers Masih Diragukan

Jumat 21-02-2025,17:58 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Tri Romadhani

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM -  Skor Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencapai 60,5 atau masuk kategori "Agak Terlindungi”. Skor tersebut meningkat 0,7 poin dari tahun sebelumnya.

Meski indeks keselamatan jurnalis 2024 meningkat, namun mayoritas jurnalis merasa cemas terhadap masa depan kebebasan pers, khususnya di tengah transisi pemerintahan baru.

Dewan Pengawas Yayasan TIFA, Natalia Soebagjo mengungkapkan, sebanyak 66 persen jurnalis mengaku lebih berhati-hati dalam memproduksi berita karena adanya ancaman kriminalisasi, sensor, serta tekanan dari berbagai pihak.

“Bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat dalam lima tahun mendatang adalah pelarangan liputan sebesar 56 persen," kata Natalia dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, pada Kamis (20/2/2025).

Selain itu, juga terdapat larangan pemberitaan sebesar 51 persen. Dengan aktor utama yang dianggap mengancam adalah organisasi masyarakat sebesar 23 persen dan buzzer sebesar 17 persen.

Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 merupakan hasil kerja sama Yayasan TIFA bersama Populix dalam program Jurnalisme Aman.

Jurnalisme Aman sendiri merupakan konsorsium Yayasan TIFA, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) dengan dukungan dari Kedutaan Besar Belanda.

BACA JUGA :  Soal Jembatan Mahakam Paska Ditabrak: BBPJN Klaim Aman Dilalui, DPRD Kaltim Minta Tetap Ditutup Demi Keamanan

Laporan tersebut mengukur tingkat perlindungan jurnalis di Indonesia melalui tiga pilar utama yakni Individu Jurnalis, Stakeholder Media, serta Peran Negara dan Regulasi.

Dengan menggunakan metode survei terhadap 760 jurnalis aktif serta analisis data sekunder dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), indeks ini bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi keselamatan jurnalis di Indonesia, yang masih rentan terhadap kekerasan fisik dan digital.

Meskipun indeks keselamatan jurnalis mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Bagi Natalia, hasil penelitian ini menunjukkan masih terdapat tantangan besar dalam memastikan kebebasan pers yang lebih aman.

"Maka itu diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak. Khususnya pemerintah wajib merevisi regulasi yang membatasi kebebasan pers, serta memperkuat mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis," tegasnya.

Dia pun menekankan, untuk pihak perusahaan media harus meningkatkan komitmen terhadap keselamatan jurnalis melalui SOP yang jelas.

Misalnya, diadakan pelatihan keselamatan, dan dukungan hukum.

BACA JUGA :  Fokus Mudyat-Waris Usai Dilantik: Tingkatkan Pelayanan Masyarakat

Adapun, organisasi Jurnalis dan CSO juga harus memperkuat advokasi, pendampingan hukum, serta edukasi bagi jurnalis dalam menghadapi ancaman.

Menurut Natalia, laporan ini menegaskan bahwa keselamatan jurnalis bukan hanya isu personal, tetapi berdampak langsung terhadap kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

"Upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis," sebutnya.

Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat menjelaskan, temuan Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 ini mencatat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian, di mana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan 56 persen dan larangan pemberitaan 51 persen.

Aktor utama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah Organisasi Masyarakat 23 persen, Buzzer 17 persen, dan Polisi 13 persen.

Kemudian, sebanyak 39 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penyensoran, baik dari redaksi maupun pemilik media.

Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) untuk menghindari konflik dan kontroversi yang berlebihan.

“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers," ucap Nazmi sapaan akrabnya.

Melalui temuan tersebut, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil. Supaya mampu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis di Indonesia.

BACA JUGA :  Pemkab Mahulu Salurkan ADK Rp 128 Miliar untuk 50 Kampung

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Bayu Wardhana menyoroti, meski angka kekerasan terhadap jurnalis menurun. Tetapi, kualitas kekerasannya justru meningkat.

Ia menjelaskan, pada 2024 ada jurnalis yang meninggal dunia, padahal tidak terjadi pada 2023 dan 2022.

“Jadi, meskipun indeks naik, kita tidak bisa hanya melihat angka tanpa memperhatikan kualitas kasus kekerasan yang terjadi,” ujarnya. 

Bayu juga membeberkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, melainkan melalui berbagai bentuk intimidasi, baik dari pihak tertentu maupun tekanan ekonomi.

Ia mengamati, banyak jurnalis yang akhirnya melakukan swasensor karena takut akan dampak yang lebih besar.

“Ada ancaman tidak langsung berupa pembatasan kerjasama media dengan pemerintah atau swasta jika mereka menerbitkan berita yang dianggap sensitif. Karena itu, perlindungan terhadap jurnalis harus menjadi prioritas bersama agar kebebasan pers tetap terjaga,” urainya.

BACA JUGA :  Ucapan Selamat Terhadap Rudy-Seno, Karangan Bunga dan Pohon Buah Penuhi Halaman Kantor Gubernur Kaltim

Menanggapi temuan tersebut, Deputi II Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno mengatakan, diperlukannya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis.

"Tidak hanya bertanggung jawab dalam memastikan keamanan fisik, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan pers," pintanya.

Kebebasan pers yang sehat akan berdampak positif pada pembangunan demokrasi dan stabilitas nasional. Dengan informasi yang akurat dan transparan, pihaknya berharap kepercayaan publik terhadap media dan pemerintah juga dapat terus meningkat.

“Kami akan terus berupaya membangun komunikasi yang lebih erat dengan media serta memberikan akses yang lebih baik terhadap informasi publik. Angka 60,5 ini kita syukuri, tapi di tahun-tahun berikutnya kita harap indeks ini benar-benar masuk kategori terlindungi." tutup Noudhy Valdryno. (*)

 

Kategori :