Oleh: Najwa Aisha*
SEJAK Presiden Prabowo Subianto secara resmi umumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen dengan dalih untuk barang mewah yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Dimana dengan adanya kebijakan 11 persen menjadi 12 persen ini tak sedikit masyarakat memberikan kritikan tajam terhadap kebijakan tersebut.
Dilansir dari Kompas.com pemerintah mengklaim bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memberikan manfaat jangka panjang dalam hal peningkatan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan infrastruktur, program kesejahteraan sosial, dan mendukung stabilitas fiskal yang diharapkan mampu mengurangi defisit anggaran.
Namun, tantangan terbesar yaitu memastikan kebijakan ini tidak menekan daya beli dan melemahkan konsumsi masyarakat.
Kenaikan tarif PPN terutama akan berdampak pada harga barang-barang mewah jasa premium meliputi:
1. Elektronik
2. Kendaraan
3. Properti
4. Layanan premium
Kebijakan tarif pajak 12 persen ini memicu polemik di masyarakat karena terjepitnya masyarakat golongan menengah dan kebawah sehingga mereka akan sulit untuk mengkonsumsi bahan-bahan domestik.
Dan jika konsumsi domestik terus melemah, pendapatan negara dari PPN justru berpotensi tidak optimal.
Namun, dibalik angka dan regulasi yang beredar kini ada kekuatan yang lebih besar sedang bekerja saat ini yaitu agenda setting. Teori yang dikembangkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw pada tahun 1972 ini menyatakan bahwa media massa dapat menentukan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat dengan menyoroti berita-berita tertentu termasuk isu kenaikan tarif pajak atau PPN 12 persen ini.
Dimana Teori agenda setting ini mengajarkan kita bahwa media memiliki peran krusial dalam menentukan isu-isu apa yang dianggap penting oleh publik. Bahkan media bisa mempengaruhi berbagai spekulasi dari masyarakat.
Berdasarkan kacamata dari teori agenda setting semakin besar perhatian media terhadap suatu isu, semakin besar pula kemungkinan publik menganggap isu tersebut penting.
Dengan terus-menerus menyoroti kenaikan PPN, media tidak hanya menginformasikan, tetapi juga membentuk persepsi masyarakat tentang isu ini. Kenaikan PPN kini bukan sekadar angka dalam undang-undang, melainkan sebuah narasi yang mendominasi ruang publik.
Dimana melalui sorotan intens terhadap kenaikan PPN, media kerap menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Dengan demikian, publik akan semakin sadar terhadap potensi kenaikan harga barang dan jasa yang akan mereka hadapi.
Kemudian media juga menyoroti Isu keadilan dalam penerapan pajak juga sering diangkat melalui perbandingan beban pajak yang ditanggung oleh berbagai kelompok masyarakat, serta menganalisis apakah kenaikan PPN ini benar-benar adil.
Tetapi selain menyoroti dampak negatif, media juga seringkali menyajikan berbagai alternatif kebijakan yang dianggap lebih baik. Hal ini mendorong publik untuk berpikir kritis dan menuntut penjelasan serta pertanggungjawaban dari pemerintah.
Lalu Bagaimanakah dampak dari Agenda Setting ini terhadap kenaikan PPN?
Sorotan media terhadap kenaikan PPN dapat memicu berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari demonstrasi hingga petisi online. Hal ini menunjukkan bahwa media memiliki kekuatan untuk memobilisasi opini publik.