Pilih Gross Split atau Cost Recovery ?

Selasa 21-01-2020,12:00 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Kepala Perwakilan SKK Migas Kalsul, Syaifudin. (Dok Disway) Balikpapan, DiswayKaltim.com– Pemerintah akan mengedepankan fleksibilitas dalam skema bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari kegiatan hulu migas. Upaya ini tidak lain untuk lebih menarik investor melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Kelenturan kontrak ini menjadi angin segar bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia. Sebab, bisnis hulu migas yang penuh dengan risiko perlu dikaji mendalam. Baik dari segi pelaksanaan sampai bagi hasil perolehan nantinya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah berencana melelang 12 blok migas dengan menerapkan kelenturan skema kontrak. Baik menggunakan gross split ataupun cost recovery. “Kontraktor (KKKS, perusahaan migas, Red) diberi kebebasan yang menurut preferensi mereka baik,” kata Kepala Perwakilan SKK Migas Kalimantan-Sulawesi Syaifudin, Senin (20/1). Di wilayah SKK Migas Kalsul sendiri kini tercatat terdapat total 63 wilayah kerja (WK) migas. Skema gross split sudah dijalankan pada sembilan WK.  Yaitu, sebanyak  lima WK eksploitasi dan empat WK eksplorasi (lihat grafis). Syaifudin menjelaskan, dua di antara lima WK eksploitasi adalah alih kelola dari WK sebelumnya. Yaitu, WK Sanga Sanga dari Vico Indonesia yang berakhir 2018 lalu setelah beroperasi selama 50 tahun. Pada periode pertama kontrak selama 30 tahun berakhir 1998 silam. Lalu berlanjut 20 tahun sebelum beralih menjadi Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) pada 2018 lalu. Lalu, kontrak peralihan WK East Kalimantan dari Chevron yang berakhir juga pada 2018 lalu dengan durasi kontrak plus perpanjangan hingga 50 tahun dan beralih menjadi Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT). (lainnya lihat grafis) Syaifudin melanjutkan, kontraktor biasanya memilih skema kontrak dengan mempertimbangkan besarnya nilai investasi, potensi dan risiko dari wilayah kerja migas yang akan dikerjasamakan. Masing-masing kontraktor memiliki preferensinya sendiri dalam melakukan investasi dan memilih skema bagi hasil yang sesuai. “Kombinasi ketiga hal tadi. Investasi, potensi yang akan didapat dan risiko. Masing-masing KKKS mempunyai preferensi berbeda melihat hal ini,” terangnya. Dengan skema gross split atau revenue sharing, kata dia, pembagian hasil dilakukan di sisi pendapatan (revenue). Di mana biaya operasi masuk sebagai bagi hasil untuk kontraktor. Sehingga apabila kontraktor bisa melakukan efisiensi, maka sisa bagian untuk kontraktor setelah dikurangi biaya operasi tersebut menjadi keuntungannya. Demikian juga jika biaya operasi lebih besar dari yang diperkirakan oleh kontraktor. Maka itu menjadi risiko kontraktor. Sementara dari sisi pemerintah, penerimaan lebih pasti karena pembagian dilakukan pada sisi revenue. Sedang dengan skema cost recovery atau profit sharing, pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor dilakukan di sisi profit. Yaitu setelah revenue dikurangi biaya operasi, sehingga secara tidak langsung pemerintah bersama kontraktor menanggung risiko. Demikian juga jika terjadi efisiensi biaya, maka profit yang didapat dibagi bersama antara pemerintah dan kontraktor. “Dengan keleluasaan yang diberikan pemerintah kepada kontraktor untuk memilih skema kontrak diharapkan akan mendongkrak investasi dan produksi migas,” sebutnya. Menjalankan peran sebagai pengendalian dan pengawasan sekaligus mitra bagi KKKS, kata dia, SKK Migas sangat mendukung skema yang ditawarkan pemerintah. Hal ini menurut Syaifudin menjadi penting karena KKKS yang sudah menyiapkan diri sesuai kontrak bisa tetap melakukan kegiatan. Di samping itu, yang juga menjadi fokus saat ini adalah menjaga produksi yang sudah ada. Penurunan rate produksi di beberapa lapangan terjadi cukup besar. “Makanya kita harus jaga dengan terus melakukan kegiatan pengeboran demi menjaga kelancaran operasi supaya yang ada (produksi saat ini, Red) tidak terjun bebas,” harapnya. SKK Migas juga berupaya melakukan percepatan transformasi dari cadangan (reserve) ke produksi. “Setelah KKS melakukan eksplorasi, ada datanya dan punya cadangan, cadangan ini dipercepat prosesnya supaya bisa berproduksi,” katanya. Mendukung itu, lanjutnya, tentu banyak hal yang harus dilakukan. Baik dari aspek fisik dengan melakukan pembangunan fasilitas, menyelesaikan perizinan dan isu-isu lainnya. “Kita juga terus berupaya melakukan EOR (enchanced oil recovery-pengoptimalan pengangkatan minyak ke permukaan., Red). Ada beberapa tahap, dibor lalu bisa natural flow (semburan alami), primary recovery bisa 30-40 persen dari cadangan yang ada. Kedua secondary recovery dengan injeksi gas atau air, bisa menaikkkan produksi 40 sampai 50 persen. Angka pastinya tidak, tapi bisa naik,” terangnya. (eny)

Tags :
Kategori :

Terkait