BACA JUGA: Ketua PWI Kaltim: Wartawan Profesional Harus UKW
Bayu mengkhawatirkan RUU ini nantinya berdampak pada kualitas berita yang ditayangkan di televisi dan radio. Alih-alih berita yang kritis, masyarakat nanti hanya akan disuguhi berita-berita seremonial.
"Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?" ujar Bayu Wardhana.
Sebagai informasi, selain larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, draf RUU Penyiaran terbaru juga melarang 10 siarang konten yang dinilai tidak sesuai dengan Standar Isi Siaran (SIS). Aturan ini tertuang dalam pasal 50 B Ayat 2.
BACA JUGA: PLN Dukung Gelaran Uji Kompetensi Wartawan oleh PWI Kaltim
Di antaranya, dilarang menayangkan isi dan konten siaran yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.
Kemudian, dilarang menayangkan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Pasal mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik ini kerap dianggap sebagai pasal karet karena berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis/pers.
"Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi. Dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan dan akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," kata Ketua Umum Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI) Pusat, Herik Kurniawan.