Semakin Kecil, semakin Mahal

Senin 23-12-2019,10:31 WIB
Reporter : admin3 diskal
Editor : admin3 diskal

 Orangutan yang berada di pusat rehabilitasi COP di Km 35, Kelay. TANJUNG REDEB, DISWAY – Keberadaan Orangutan Kalimantan maupun Sumatera di Thailand, mengindikasikan perdagangan gelap satwa liar dan langka terjadi. Bahkan, harganya per ekor cukup tinggi, bisa mencapai ratusan juta rupiah di pasar gelap internasional. Seperti halnya Orangutan bernama Cola (10 tahun) dan Giant (7 tahun), yang berhasil dipulangkan ke Indonesia. Cola tiba di Kabupaten Berau pada Sabtu (21/12) lalu. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Sunandar Trigunajasa, menyebut pemulangan dua individu Orangutan cukup rumit. Itu dikarenakan hukum di Thailand, mengatur pemulangan satwa hasil tindakan ilegal harus menunggu 5 tahun, kembali ke negara asal. Setelah negosiasi panjang, akhirnya Pemerintah Thailand menyerahkan kedua Orangutan secara resmi kepada Pemerintah Indonesia melalui KBRI pada Jumat (20/12) di Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok. Dan Cola tiba di Berau, pada Sabtu (21/12). Cola dijelaskannya, merupakan anak dari induk Orangutan bernama Khai Kem, yang sebelumnya telah dipulangkan terlebih dahulu dari Thailand ke Indonesia pada tahun 2015. Sedangkan Giant diduga diselundupkan dari Indonesia, dan ditemukan di Provinsi Petchaburi oleh pihak berwenang setempat. Saat berada di Thailand, Giant dan Cola serta induknya itu sempat menjadi barang bukti penyelundupan satwa liar di Department of National Park, Wildlife and Plant Conservation (DNP) Thailand. Berdasarkan dari DNA, Cola merupakan Orangutan jenis Kalimantan atau Pongo pygmaeus sementara Giant jenis Sumatera yakni Pongo abelii. “Di mana Cola dirawat di Khao Son Wildlife Breeding Center, dan Giant dirawat di Kao Pratubchang Wildlife Breeding Center, Provinsi Ratchaburi,” jelasnya. Baik induk Cola dan Giant, merupakan korban perdagangan gelap satwa liar khususnya Orangutan. Dari hasil koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, dengan Management Otority CITES Thailand, terdapat 6 individu Orangutan di Thailand. Saat ini, memang yang proses hukumnya sudah selesai adalah 2 individu, yakni Cola dan Giant. Sementara 4 individu lainnya, sedang diupayakan repatriasinya (proses pemulangan). “Mudah-mudahan tahun depan semua Orangutan bisa kembali ke Indonesia, untuk segera dilepasliarkan ke alam,” terangnya. Kini Cola sudah berada di pusat rehabilitasi milik Centre for Orangutan Protection (COP) di Kecamatan Kelay. Ia tiba dari Balikpapan dengan menggunakan pesawat Sriwijaya pada Sabtu (21/12) pukul 15.30 Wita di terminal VIP Bandara Kalimarau. Orangutan itu juga didampingi oleh dokter hewan untuk memantau kondisi selama penerbangan Saat di pesawat, kedua Orangutan ditempatkan di dalam kandang atau peti khusus, sesuai dengan standar penerbangan internasional IATA (International Air Transport Association), yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh COP. Ia menambahkan, BKSDA Kaltim dalam melestarikan Orangutan juga bekerja sama dengan beberapa NGO (Di luar organisasi pemerintah). Salah satunya adalah COP, yang melakukan kegiatan rehabilitasi Orangutan di dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) di Kecamatan Kelay. “Sebelum dilepasliarkan, Cola lebih dulu direhabilitasi lagi. Apalagi untuk usianya yang sudah 10 tahun, ukuran tubuhnya juga kecil. Sementara itu, ia juga akan diajarkan bagaimana cara hidup di alam liar,” terangnya. Ketika ditanya, apakah saat ini masih terjadi perburuan Orangutan, khususnya di Kabupaten Berau. Ia menjawab, untuk saat ini sudah jauh berkurang. Apalagi penerapan undang-undang perlindungan satwa dilindungi semakin berat. Orangutan merupakan satwa yang dilindungi Undang-undang. Termasuk dalam daftar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi. “Sudah berkurang dari 10 tahun lalu. Memburu, satwa yang dilindungi adalah kurungan penjara lima tahun dan denda 100 juta rupiah sesuai pasal 40 UU Nomor 5 tahun 1990,” ujarnya. Sementara itu, Wakil Bupati Berau Agus Tantomo, meminta kepada BKSDA, dan COP untuk memulihkan kondisi Cola yang menurutnya sangat memprihatinkan. Sebab didapatkan informasi, Cola ini kalau diberi pisang cenderung tidak suka, karena terbiasa makan kacang. “Normalnya Orangutan sangat menyukai pisang. Saya ingin Cola bisa kembali normal, mulai ukuran tubuh dan pola makannya,” katanya. Selama ini, dirinya tidak mengetahui ada Orangutan yang berasal dari Berau, diselundupkan hingga ke Thailand. “Saya juga baru tahu ini. Dan saya berharap jika adalagi Orangutan berasal dari Berau yang dibawa secara ilegal dapat dikembalikan ke sini,” harapnya. Disampaikan Managing Director Centre for Orangutan Protection (COP) Daniek Hendarto, harga jual Orangutan di tingkat lokal jauh berbeda jika satu individu ketika sudah berada di luar negeri. Dirincikannya, untuk harga jual di tingkat pemburu lokal berkisar 3-5 juta rupiah. Ketika, lolos ke Pulau Jawa harganya semakin tinggi yakni berkisar 50-75 juta. Tak heran kata dia, Cola, Orangutan betina yang berasal dari Kalimantan bisa berada di negara Thailand. Cola lahir di negara Thailand setelah induknya berhasil diselundupkan dari Kalimantan, dan diperdagangkan ke negara yang memiliki julukan negeri Gajah Putih itu. “Kalau sudah berhasil diselundupkan ke luar negeri bisa sampai 200 juta rupiah. Semakin kecil Orangutannya, maka semakin mahal harganya,” ujarnya terangnya saat berada di Bandara Kalimarau, Sabtu (21/12) lalu. Lanjutnya, Orangutan yang diperdagangkan biasanya untuk dipelihara dan lebih banyak melalui jalur laur.(*/zza/APP)

Tags :
Kategori :

Terkait