PASER, NOMORSATUKALTIM - Tak hanya warga yang meminta ketegasan maupun kebijakan dari pemerintah perihal truk pengangkut batu bara yang melintasi jalan umum, tepatnya trans Kalimantan poros Kecamatan Muara Komam - Batu Sopang - Kuaro, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim).
Para sopir truk pengangkut 'emas hitam' juga menginginkan hal serupa. Pemerintah daerah diminta dapat memberikan solusi terhadap konflik kepentingan dua kelompok warga tersebut.
Untuk diketahui, sekira sepekan terakhir ini tepatnya ruas Desa Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang warga melakukan penjagaan atau pencegatan truk batu bara yang melintas.
Truk baru bara yang memuat batu bara yang diduga dari Kalimantan Selatan dilarang melintas di jalan umum.
"Kami dilarang melakukan hauling, sementara kami semua (para sopir) di wilayah Batu Sopang ini bukan truk perusahaan yang digunakan, melainkan miliki pribadi," ucap salah seorang sopir truk pengangkut batu bara lintas Kaltim-Kalsel, Bambang, Minggu (31/12/2023).
Pemerintah diharapkan dapat segera memberikan solusi sehingga dapat kembali beroperasi. Pasalnya, truk pribadi yang digunakan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
"Truk-truk kecil yang ada di wilayah Paser ini sekitar dua ratusan unit, kalau dikolaborasikan dengan yang di Kalsel ada sekitar hampir 700 unit truk yang pemuatannya di Seradang (salah satu desa di Kabupaten Tabalong, Red) Kalsel," sebutnya.
Para sopir truk angkutan batu bara lokal di wilayah Kecamatan Muara Komam, Batu Sopang dan Kuaro hanya mengandalkan ikut dalam kegiatan hauling dari PT Mantimin Coal Mining yang berada di Kalsel.
"Jangan hanya menyalahkan kami, sementara kegiatan hauling ini sudah berlangsung sejak lama dan kami cuma mencari makan untuk menghidupi keluarga kami," tuturnya.
Andai tak ada solusi atau titik temu, ia mengkhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab, mereka kehilangan penghasilan.
"Keinginan kami truk-truk kecil di kampung ini bisa beroperasi dengan normal kembali. Seperti beberapa tahun lalu yang tidak pernah ada persoalan, karena baru kali ini yang dari Mantimin tidak boleh lewat," terang Bambang.
Salah seorang sopir lainnya yang tergabung dalam Ikatan Driver Urang Banua (IDUB), Anto mengatakan, terdapat ada sekira 200 orang yang menggantungkan hidup di angkutan batu bara PT Mantimin Coal Mining.
Ia menyebut jika terikat kontrak dengan perusahaan tambang asal Kalsel tersebut. Jika tidak terpenuhi tahun ini dikhawatirkan tak dibayar.
"Istri-istri kami di rumah juga sudah mulai resah bahkan beras juga sudah menipis. Kalau kami tidak diperjuangkan, bagaimana nasib kami ke depannya," keluh Anto.
Selama adanya pencegatan yang dilakukan warga, diungkapkannya tak ada pemasukan diperoleh. "Sama sekali tidak ada. Kami hanya menyopirkan mobil orang juga dan kita mau makan apa, ini terus terang dari hati kami ini," bebernya.
Dirinya dan sopir lainnya berharap agar tetap dapat bekerja untuk mengangkut batu bara, seperti sedia kala karena aktivitas tersebut yang dijadikan sebagai sumber penghasilan.
"Kalau alasan dari ibu-ibu jalan rusak, maka itu bisa dibicarakan ke perusahaan. Kemudian banyak juga truk-truk lain yang lewat seperti truk semen dan sawit, itukan juga bisa merusak jalan masa yang disalahkan cuma kami saja," tutup Anto.