Putusan MK Berubah Kala Adik Ipar Jokowi Ikut Rapat

Selasa 17-10-2023,05:57 WIB
Editor : Rudi Agung

NOMORSATUKALTIM - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres diwarnai perbedaan pendapat dari hakim MK. Putusan itu disampaikan kemarin.

Ada dua hakim MK yang menyatakan occuring opinion atau alasan berbeda, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Ada pula empat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo.  

Pada Senin kemarin, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres. Sebanyak enam gugatan ditolak.

Tetapi, MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

Hakim MK Saldi Isra mengungkap sikapnya soal sejumlah putusan permohonan ihwal batasan usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) yang dinilai aneh. Saldi mengaku bingung karena putusan MK dinilai berubah-ubah dalam waktu dekat.

Hakim Isra membuat video yang menumpahkan pendapatnya. Video itu beredar dimana-mana. Ia heran putusan MK bisa berubah hanya sekejap. Beberapa putusan sebelumnya menolak seluruh gugatan, namun setelah makan siang, MK kembali rapat soal dan memutuskan untuk menerima sebagian gugatan. Yang intinya memberi ruang bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming untuk maju di konstelasi Pilpres 2024.

Saldi menerangkan, secara keseluruhan ada belasan permohonan untuk menguji batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gelombang pertama 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Saldi melanjutkan, dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. Saat itu ada delapan hakim yang memutus perkara, dua hakim menyatakan dissenting opinion.

"Hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang," kata Saldi.

Dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman, yang diketahui sebagai adik ipar Jokowi, ikut memutus dalam perkara tersebut.

Kehadiran Anwar Usman, menurut Saldi tak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Saldi.

"Bahwa berkaitan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," imbuhnya.

Kebingungan yang dimaksud Saldi, awalnya putusan MK menolak permohonan PSI yang meminta batasan usia capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun, setelah putusan itu, MK memutuskan menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa UNS yang mengajukan minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.

"Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ungkap Saldi.

Saldi Isra mengungkap, Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan, ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

Dengan adanya putusan itu, sadar atau tidak, gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, Wagub Jawa Timur Emil Dardak Dkk menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat," ujarnya.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?," heran Isra. (*)

Kategori :