Samarinda, nomorsatukaltim – Aksi Kamisan Kaltim menuntut ditegakkannya keadilan pada korban tragedi Kanjuruhan yang terjadi setahun silam.
Diketahui, tragedi ini menelan korban jiwa sebanyak 135, dimana 96 alami luka berat dan 484 luka ringan. Perwakilan Aksi Kamisan Kaltim Yuni menjelaskan peristiwa ini terjadi akibat personel Brimod dan Sabhara Polres Malang yang ditempatkan untuk pengamanan dilengkapi dengan gas air mata. “Satuan Brimod diduga menggunakan multismoke projectile, sementara Sabhara menggunakan single amunisi,” ucapnya melalui pres rilis yang diterima media ini.
Sayangnya, aparat keamanan melakukan respona berlebihan atas aksi sejumlah penonton yang turun ke lapangan setelah pertandingan. Padahal turun ke lapangan adalah tradisi yang biasa dilakukan. Namun aparat keamanan merespon dengan kekerasan, yang kemudian memancing emosi penonton lain.
“Keadaan ini kemudian direspon dengan penembakan gas air mata oleh personel Brimob dan Sabhara,” tambahnya.
Dari fakta yang dikumpulkan termasuk yang diperoleh dari CCTV yang berada di Stadion Kanjuruhan, kejadian bukan merupakan kerusuhan yang dipicu oleh aksi brutal penonton. Penggunaan gas air mata yang dimaksudkan untuk menenangkan penonton justru menjadi kekerasan yang memicu jatuhnya ratusan korban. Penonton menjadi panik akibat tembakan gas air mata yang bertubi-tubi, sehingga berlarian ke pintu keluar lalu saling berhimpitan.
Dalam proses selanjutnya ada lima terdakwa yang disidangkan atas kasus ini. Mereka adalah AKP Has Darmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur), Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang), AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang), Abdul Haris (Ketua Panpel Pertandingan Arema FC), dan Suko Sutrisno (Security Officer).
Kelimanya telah dijatuhi vonis hukuman antara 1 tahun hingga 1 tahun 6 bulan. Sebuah hukuman yang terlalu ringan untuk derita dan lara serta duka lainnya yang dialami oleh keluarga korban juga masyarakat pecinta sepakbola.
Sidang terhadap kasus atau tragedi Kanjuruhan juga tidak mengungkap aktor lainnya yang lebih tinggi, yang mestinya ikut bertanggungjawab.
Oleh karena itu kami Menganggap bahwa sejak semula proses hukum dan proses lainnya atas kasus ini tidak sungguh-sungguh menunjukkan keseriusan untuk mengungkap secara tuntas kasus ini. Proses hukum seolah-olah bertujuan untuk melindungi pelaku kejahatan sesungguhannya dalam Tragedi Kanjuruhan.
Namun, Yuni menyebut ada keganjilan dalam proses hukum dimana yang diadili adalah aktor-aktor lapangan, bukan penentu kebijakan.
“Dilihat dari hukuman yang dijatuhkan, pengadilan atas kasus atau tragedi Kanjuruhan juga tidak benar-benar berpihak pada korban, keluarga korban dan masyarakat sepakbola,” singgungnya.
Karena itu, pihak Aksi Kamisan Kaltim meminta Presiden Joko Widodo dan PSSI menunjukkan ketegasan, kembali membuka kasus ini untuk penyelesaian yang tuntas sampai ke aktor intelektual. Kemudian meminta agar kasus ini ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Aksi Kamisan Kaltim juga meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim yang mengadili kasus ini.
“Jika Tragedi Kanjuruhan hanya dibiarkan seperti saat ini maka kasus ini akan menambah panjang daftar pelanggaran HAM yang tak terselesaikan. Dan kita terus membiarkan para pelaku pelanggaran HAM terus menikmati kekebalannya dari jerat dan tangan hukum,” tutupnya. (boy)