[6/27, 01:35] Yani Jkt:
Membaca Disway hari ini saya jadi teringat pada Ibu saya. Saat ini beliau berusia 83 tahun - tepatnya nanti di bulan Desember. Sebagai Ibu rumah tangga biasa yang berprofesi Guru TK, Ibu tidak terlibat dalam dunia politik, juga bukan pengamat politik. Meskipun sebagai rakyat biasa, menurut saya, beliau adalah seorang Soekarnois. Mungkin terbawa oleh suaminya, yaitu mendiang Bapak saya yang selisih usianya 16 tahun lebih tua pada saat mereka menikah. Ketika Ibu Megawati terpilih menjadi Presiden RI, Ibu saya sangat kagum dan bangga, bukan hanya karena Ibu Megawati seorang wanita tetapi lebih karena Ibu Megawati adalah anak dari seorang Soekarno.
Bersyukur, Ibu saya tergolong sehat di usianya kini, tidak ada keluhan fisik yang berarti. Hanya satu yang dirasakan, berkurangnya pendengaran. Puji Tuhan, bisa teratasi dengan alat bantu pendengaran. Daya ingatnya masih sangat-sangat tajam, terutama ketika beliau bercerita tentang masa lalu. Manis-pahitnya bahkan getirnya kehidupan yang dijalaninya.
Kami bertiga (anak-anaknya) selalu senang dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan ceritanya. Seperti yang saya rangkum berikut ini:
Ibu saya merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Figur ayahnyi yang dipanggilnyi dengan sebutan Rama (baca: Romo), ibu dapatkan dari kakak laki-laki tertua. Ibu dan saudara-saudaranyi ditinggal ayah berpulang ketika ibu saya masih kecil. Sosok ibunyi yang disebutnya "simbok" sangat berarti dalam kehidupannyi. Berbekal sebidang sawah sambil berjualan suruh (sirih untuk menginang) di pasar, Simbok tetap menjanda dalam membesarkan keempat anak-anaknyi.
Ketika masih bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) ibu saya terjangkit malaria, penyakit yang menjadi pandemi pada saat itu. Memerlukan waktu 2 tahun untuk pemulihan sampai rambutnya yang rontok kembali tumbuh, sehat, hitam dan lebat. Pulihnya kesehatan ibu membuat semangatnyi bangkit. Ingin melanjutkan sekolah tapi bukan di sekolah yang lama, malu katanyi. Sekalipun teman-teman dan gurunyi datang membujuk, ibu tidak mau. Ibu ingin bersekolah di SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Sekolah Kartini, namanya. Terletak di pusat kota Gombong, bukan di desa seperti sekolah sebelumnya.
Dengan semangat, ibu yang seharusnya sudah duduk di kelas 6, rela mengulang di kelas 4.
[6/27, 01:35] Yani Jkt:
Tentu saja ibu menjadi murid yang pintar. Sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai perlombaan dan menjadi juara. Karena itu ibu menjadi murid kesayangan para guru. Satu moment yang paling diingatnyi, ketika ibu menyampaikan keinginan kepada Simbok: "Mbok, aku terpilih menjadi salah satu anggota barisan inti untuk mengikuti karnaval dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI. Tapi... aku harus memakai sepatu warna putih".
Kemudian.. Simbok membelikannya dan di saat itulah, untuk pertama kalinya ibu ke sekolah memakai sepatu.
Saya membayangkan betapa senang dan bangganya mereka berdua, Simbok dan anak wedoknyi. Sungguh bahagia ibu bisa mewujudkan keinginannya bersekolah di Sekolah Kartini. Sekolah yang diimpikannyi. Sekolah yang semua muridnya perempuan, begitu juga para guru dan kepala sekolahnya. "Hanya tukang kebun sekolah yang laki-laki", kata Ibu, mengenang.
[6/27, 01:36] Yani Jkt:
Seingat Ibu, usia sekolah pada masa itu tidak ditentukan mulai umur 7 tahun, tetapi bisa lebih tua. Maka ketika ibu menyelesaikan SKP-nya ibu merasa sudah cukup dewasa. Beramai-ramai bersama teman-teman seangkatan, ibu mulai melamar pekerjaan. Peluang bekerja di Perum Peruri di Jakarta, tidak direstui Simbok. Simbok tidak ingin anak ragilnya jauh darinya. Djawatan Koperasi di Kebumen, menjadi tujuan ibu selanjutnya. Tidak disangka-sangka, di sanalah ibu bertemu dengan seorang pemuda dewasa yang dengan berani menemui Simbok untuk melamar putrinya. Melihat sosok yang jauh lebih dewasa, Simbok merestui dengan harapan figur ayah untuk putrinya bisa tergantikan. Di tahun 1963 setelah menunggu 6 tahun, lahirlah anak pertama mereka, kakak laki-laki saya. Ibu melahirkan saya pada Oktober 1965, kita semua tahu apa yang terjadi pada waktu itu. Suasana politik sedang panas-panasnya, semua serba kacau.
Itulah masa -masa sulit, fase pahit getirnya kehidupan yang dilalui ibu. Membawa balita dan bayi mungil, ibu, suami dan mertua perempuan meninggalkan Kebumen menuju Gombong. Rumah dan seisinya ditinggalkan begitu saja, keselamatan lebih penting. Puji Tuhan, setelah beberapa bulan ditinggalkan ternyata kondisi rumah dan perabotannya tetap utuh, meskipun beberapa rumah di sekitarnya tinggal berupa puing-puing.
Sebagian perabot diangkut ke Gombong, sebagian diberikan kepada tetangga yang mau. Pada tahun 1967 banjir bandang melanda, air setinggi pinggang orang dewasa. Di tengah malam, waduk Sempor jebol, tidak mampu menampung air hujan yang turun terus-menerus, tujuh hari tujuh malam.
Dua tahun kemudian ibu melahirkan adik perempuan saya pada tahun 1969, dan di tahun 1975, ibu membawa saya dan adik ke Jakarta, menyusul suami dan anak pertamanya yang lebih dulu merantau.