Balada Seragam Sekolah
Rabu 12-07-2023,17:55 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung
Selama ini, negara-negara Nordik seperti Finlandia, Denmark, Swedia, dan Norwegia: dikenal punya sistem pendidikan terbaik di dunia. Musababnya, sistem pendidikannya fokus ke perkembangan siswa dan pembelajaran individu dengan cara belajar yang menggembirakan.
Hasilnya, setiap individu memiliki kemampuan berpikir unggul dengan karakter kuat dan adab yang indah.
Dalam peringkat yang dirilis New Jersey Minority Educational Development (NJ MED) tahun 2023, Denmark berhasil menempati urutan pertama sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Menyusul Korea Selatan di peringkat kedua, dan ketiga ada negara Belanda.
NJ MED, dikenal sebagai organisasi nirlaba di bidang pendidikan. Mereka mengumpulkan data statistik dari enam organisasi internasional. Organisasi itu OECD, PISA, UNESOC, EIU, TIMSS, dan PIRLS. Hasilnya, akan dipublikasikan 20 negara teratas dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Rilis itu diterbitkan setiap tahun. Untuk tahun ini, Indonesia berada pada urutan ke-67.
Indonesia berada di bawah Albania di urutan ke-66 dan unggul satu peringkat di atas Serbia, yang ada di urutan ke-68. Urutan ini dirilis melalui situs worldtop20.org. Dan ternyata, pada tahun lalu, peringkat Indonesia juga berada di urutan ke-67. Tidak berubah. Apa bedanya pendidikan Indonesia dengan negara-negara peringkat atas yang punya sistem pendidikan terbaik?
Ada banyak faktor. Antara lain, negara-negara Nordik memprioritaskan akses yang sama ke pendidikan, kesejahteraan siswa, dan pembelajaran praktis. Mereka menekankan kreativitas, pemikiran kritis, dan kolaborasi. Finlandia contohnya. Di sana, tak hanya dikenal negara paling bahagia di dunia, tetapi juga salah satu negara dengan pendidikan terbaik.
Sistem pendidikan Finlandia dikenal fokus kesejahteraan siswa, kesempatan sama, dan pembelajaran individual. Ini titik tekan krusial yang membedakan Indonesia dengan Finlandia. Alih-alih kesempatan sama, nyaris saban tahun, terjadi sengkarut gedung sekolah. Jumlah lulusan ke jenjang berikut lebih banyak yang lulus dibanding gedung sekolah. Akhirnya banyak yang tak tertampung di sekolah negeri.
Dus, di Balikpapan. Jumlah lulusan SD lebih banyak daripada kesediaan gedung SMP negeri. Akhirnya ada saja cara terselubung yang dimainkan, mulai titipan sampai dugaan jual beli kuota. Padahal sudah menggunakan sistem online, tapi ada saja cara main belakang. Akhirnya, siswa yang tak punya cuan dan jaringan, bisa tergeser. Ini rahasia umum, yang terjadi saban tahun.
Yang kini jadi keluhan lain para orangtua siswa, soal seragam. Ada harganya. Keluhan itu juga terjadi setiap tahun. Terutama awal ajaran baru sekolah. Seperti di bulan Juli saat ini. Padahal Pemerintah Balikpapan telah berupaya memberi seragam gratis. Beserta atribut sekolah lainnya. Dari jenjang SD sampai SMP. Ini harus diapresiasi. Sangat meringankan beban orangtua. Juga membahagiakan.
Hanya saja, distribusinya yang perlu diperbaiki. Harus lebih cepat. Tahun lalu, baru sampai ke sekolah bulan Oktober, padahal sekolah dimulai bulan Juli. Mudahan tahun ini distribusinya bisa lebih baik, lebih cepat dan tepat. Kita harus mendukungnya. Dan ada lagi yang harus didorong, yakni penghapusan bisnis seragam di sekolah negeri. Dugaan bisnis seragam ini terjadi di sekolah negeri di Balikpapan.
Contohnya, SD Negeri menawarkan seragam sekolah dengan biaya ada yang harganya sampai ratusan ribu. Begitupun di SMP negeri, biayanya sampai jutaan. Pun SMA negeri, biayanya juga jutaan. Hanya untuk seragam. Yang biayanya dibebankan ke orangtua. Biaya yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan kemajuan pendidikan. Ajaib sekali. Budaya ini masih dipertahankan.
Kita ambil contoh salah satu SMP Negeri di Balikpapan. Orangtua ditawarkan komponen seragam, terdiri dari dari kain batik yang dijahit sendiri. Kain batik itu dibuat kemeja dan rompi. Biaya jahit orangtua. Komponen lainnya, kaos olahraga, topi, dasi sampai ikat pinggang yang ada logo sekolahnya. Bahkan kaos kaki juga ada logonya. Alasannya, logo itu sebagai identitas sekolah. Komponen itu biayanya jutaan.
Ingat, ini sekolah negeri loh. Kalau swasta, lain soal.
Pemerintah Balikpapan sudah memberi gratis seragam dan atribut, tapi masih saja ada celah bagi sekolah menawarkan seragam lain. Alasannya ada identitas sekolah. Apa korelasinya dengan sistem pembelajaran? Yang menyedihkan lagi, Pemerintah sudah memberi gratis batik Balikpapan. Tapi sekolah juga menawarkan batik sekolah dengan identitas karakteristik sekolah. Untuk apa ada dua batik?
Memang, bahasa yang digunakan halus. Tidak mewajibkan. Tapi dari informasi beberapa orangtua siswa dan warga Balikpapan, mereka tetap keberatan. Aneh saja, sudah ada seragam dari Pemerintah, kok sekolah masih mengadakan seragam sendiri dengan biaya yang cukup lumayan. Kalau soal identitas sekolah, cukup lah di kartu siswa atau pakaian olahraga.
Tidak perlu identitas disematkan dengan batik khusus, apalagi sampai kaos kaki diberi logo. Sungguh menyedihkan. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses pendidikan. Lebih baik biaya itu untuk fasilitas pengembangan siswa. Ya memang, hal ini sudah terjadi lama. Sejak dulu kala. Masalahnya, sampai hapan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan proses pembelajaran terus dipertahankan?
Sekolah tidak mewajibkan. Lalu bagaimana dengan orangtua tidak mampu. Mereka tidak akan tega melihat anaknya pakai seragam berbeda. Anak atau siswa pun bisa terganggu mentalnya. Minder jika berbeda seragam dengan teman sekelasnya. Karena itu, sudah saatnya Pemerintah Balikpapan membuat kebijakan lebih tegas agar menghapus pengadaan seragam dari sekolah.
Hapuskan bisnis seragam di sekolah negeri. Bagaimana sistem pendidikan Indonesia bisa maju, jika biaya-biaya yang dibebankan pada orangtua tidak ada hubungannya dengan proses pembelajaran? Di negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik, mereka bahkan membebaskan seragam. Meniadakan komponen-komponen yang tidak ada kaitannya dengan perkembangan siswa.
Apakah siswa yang tidak pakai batik sekolah, tidak bisa pintar? Kan tidak. Apakah siswa yang tidak pakai seragam dengan identitas sekolah itu, bakal jadi bodoh? Kan tidak. Semua hanya akal-akalan celah bisnis. Yang sama sekali tidak ada kaitan dengan proses pembelajaran. Alih-alih memajukan pendidikan.
Karena itu, Pemerintah Balikpapan perlu buat ketegasan. Cukup batik Balikpapan tanpa batik sekolah. Bebaskan orangtua membeli seragam di luar sekolah, tanpa logo atau identitas sekolah. Jika memang identitas perlu, cukup jual saja bordiran. Atau cukup pakaian olah raga. Berikan sanksi bagi sekolah yang masih melakukan praktik bisnis seragam sekolah, dengan pelbagai modusnya.
Sekolah atau koperasi, tidak perlu lagi mengurusi seragam sekolah. Serahkan saja hal itu pada Dinas Pendidikan. Hapuskan batik sekolah, toh Pemerintah Balikpapan sudah memberi batik daerah. Dan untuk seragam lainnya, bebaskan orangtua membeli dari mana saja, tanpa kedok embel-embel logo atau identitas sekolah. Wujudkan pendidikan merata bagi seluruh siswa.
Prioritaskan biaya yang dibebankan ke orangtua, pada komponen-komponen substantif yang ada kaitannya dengan proses belajar dan kemajuan pendidikan. Bukan pada aksesoris siswa atau logo sekolah. Kembalikan fungsi pendidikan pada khittahnya.
Ayo pak Wali, pak Kepala Dinas, Anda pasti bisa mengubah pendidikan Balikpapan, yang lebih baik. Menggembirakan siswa, memudahkan orangtua. Setelah seragam gratis, publik menanti gebrakan berikutnya: hapuskan pengadaan seragam dan batik dari sekolah.
Cukuplah batik Balikpapan, batik daerah ini sudah menjadi representasi identitas yang membanggakan, tanpa perlu menonjolkan identitas sekolah. Pihak sekolah hanya perlu menonjolkan kualitas pengajaran dan output membanggakan dari proses pembalajaran mereka. Menumbuhkan SDM unggul sejak dini, mempersiapkan diri melahirkan generasi emas bagi kota penyangga IKN.
Tags :
Kategori :