Nomorsatukaltim.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia aka WALHI mengkritisi kebijakan penangkapan ikan terukur, yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan. WALHI menilai salah satu industri ekstraktif yang kini didorong pemerintah Indonesia adalah kebijakan penangkapan ikan terukur. WALHI mencatat, kebijakan ini aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Inkonstitusional Bersyarat. Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Dengan sistem ini, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa. Kebijakan ini akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan. WALHI menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur sebagai bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya. Di masa yang akan datang, kebijakan ini akan mendorong penurunan jumlah nelayan di Indonesia yang selama ini berjasa bagi penyediaan pangan di Indonesia. Nelayan adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa mengantarkan ikan dari laut ke meja makan kita. Namun, keberadaannya terus terancam. Bahkan jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019. Dalam catatan WALHI, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Sebelumnya, Peraturan ini, diklaim sebagai langkah menjaga kelestarian habitat perairan. Meskipun aturan ini mencuatkan kontroversi dan banyak ditolak sejumlah kalangan, termasuk para nelayan. Alasannya membuka peluang hegemoni kapal-kapal besar. Namun regulasi ini dinilai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, Irhan Mukhmaidy, sebagai salah satu bentuk menjaga kelestarian perikanan dan upaya perbaikan tata kelola di bidang perikanan tangkap. Irhan mengklaim, penangkapan ikan terukur diharap menghadirkan keseimbangan antara keberlanjutan ekologi, pertumbuhan ekonomi dan keadilan pemanfaatan sumber daya perikanan. Ia memaparkan bahwa program yang digencarkan dan akan dilaksanakan tahun 2023 ini, melalui KKP dengan berbasis kuota atau fishing quota bashed. Data dari kuota tersebut telah direview Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. “Perhitungan kuota didasarkan pada potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan,” tutur Irhan, dari balik gawainya. “Penangkapan Ikan terukur berbasis kuota per daerah kabupaten kota atau provinsi, kalau di Indonesia sendiri keseluruhan total kuotanya 12, 1 juta ton per tahun,” imbuh Irhan, Jumat. (*/ gpk) Sumber: WALHI
WALHI Kritisi Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Jumat 27-01-2023,17:12 WIB
Editor : Rudi Agung
Kategori :