SAMARINDA, nomorsatukaltim.com – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah efektifkan pengawasan guna mencegah integrator merugikan peternak. KPPU melihat integrasi vertikal oleh integrator di industri unggas sangat berpotensi melanggar Undang-Undang (UU)Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, membeberkan bahwa dalam kajian mereka selama satu bulan terakhir ini, mereka menemukan harga day-old-chick (DOC) dan layer (ayam petelur) selalu berada di atas harga acuan. Harganya sekitar Rp 5000,- hingga Rp 6000,- per ekornya. Bahkan cenderung meningkat. “Begitu pula dengan harga pakan yang fluktuatif dan harga jagung yang berada di atas harga acuan (Rp 4.500/kg) dan meningkat.” “Kami melihat adanya dominasi pengepul dan produsen pakan dalam menguasai pembelian jagung di pasar. Di lain sisi, harga livebird dan telur juga cenderung rendah dan fluktuatif,” beber Ukay dalam siaran pers resmi KPPU pada Rabu, 22 Desember 2021. Menurut kajian KPPU, permasalahan di industri tidak lepas dari keberadaan integrasi vertikal oleh pelaku usaha integrator. Integrasi tersebut dalam bentuk kepemilikan integrator atas pabrik pakan, impor grandparent stock (GPS) dan produksi day-old-chick, peternakan sendiri atau bermitra, kepemilikan rumah potong dan cold storage, hingga penguasaan atas jaringan distribusi, toko, serta produk olahan. KPPU menemukan 80 persen pasar dikuasai oleh perusahaan terintegrasi, dan hanya 20 persen dilakukan oleh peternak mandiri. Memang, lanjut Ukay, selama ini UU tidak serta merta melarang integrasi vertikal dan tidak melarang perusahaan untuk menjadi besar. KPPU juga mengakui bahwa integrasi vertikal pada satu sisi dapat memberikan efisiensi, kepastian bahan baku dan peningkatan akses ke konsumen. “Tetapi di sisi lain, pelaku integrasi vertikal memiliki kemampuan untuk menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, atau melakukan praktik diskriminasi,” tegas Ukay. Diketahui, pemerintah telah memiliki Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi dalam mengatur indutri tersebut. Namun, hingga saat ini belum dilaksanakan secara optimal. KPPU menilai Permentan ini perlu diefektifkan dalam hal pelaksanaan atau penegakannya. Khususnya dalam hal memastikan kesempatan bagi pelaku usaha mandiri dengan adanya-pembatasan pasokan di hulu melalui pembatasan impor GPS. Pengawasan dan penjaminan syarat kepemilikan rumah potong dan cold storage harus dilaksankaan dan diawasi untuk menjaga pasar peternak (kecil/mandiri). Serta, melaksanakan pengawasan atas distribusi (baik dari sisi jumlah maupun kualitas) untuk memberikan kepastian bagi peternak dalam melakukan kegiatan usaha. Selain Permentan tersebut, KPPU juga menilai bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen perlu ditegakkan. Baik dalam harga DOC maupun pada harga livebird dan telur sehingga menjamin adanya jaminan harga input dan harga output bagi peternak mandiri. “Jika integrasi vertikal sudah sangat membahayakan eksistensi peternak, perlu perubahan peraturan untuk memberi perlindungan bagi peternak. Pelaku usaha dengan integrasi vertikal tersebut sangat rentan melaksanakan berbagai perilaku yang melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999,” pungkas Kulay. Pelanggaran yang dimaksud seperti pelanggaran oligopoli, penetapan harga, kartel, integrasi vertikal, diskriminasi, dan penyalahgunaan posisi dominan. KPPU menganggap peningkatan pengawasan oleh pemerintah atas aturan tersebut sangat dibutuhkan dalam menjaga agar integrator tidak menghilangkan peternak mandiri dalam industri. (DSH)
KPPU Minta Pemerintah Efektifkan Pengawasan
Sabtu 25-12-2021,11:52 WIB
Editor : Yoyok Setiyono
Kategori :