Pemerintah menerapkan sejumlah strategi demi meningkatkan investasi dari sektor hulu migas. Upaya itu bertujuan mencegah penurunan penerimaan migas, seperti yang terjadi selama 2016-2019.
Nomorsatukaltim.com - Perlahan namun pasti, investasi sektor migas bangkit kembali dengan skema pemberian insentif. Tahun ini, sektor hulu migas nasional mampu memaksimalkan kinerja. Hingga Kuartal III – 2021, penerimaan negara telah mencapai Rp 136,8 triliun (kurs 1 USD = Rp 14.350). Melampaui target APBN 2021 yang ditetapkan, yakni 131%.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto dalam Jumpa Pers Kinerja Hulu Migas Kuartal – III 2021, Selasa (19/10) mengatakan, optimalnya penerimaan negara tidak lepas dari harga minyak dunia yang berangsur membaik, penjualan optimasi uncommitted cargo LNG Bontang, negosiasi/penyesuaian harga gas, serta efisiensi kegiatan operasi hulu migas yang dilakukan.
“Investasi di hulu migas juga meningkat seiring dengan membaiknya harga minyak dunia dan mulai bergeraknya perekonomian nasional. Saat ini nilai investasi di hulu migas telah mencapai Rp 113,3 triliun,” kata Dwi Soetjipto.
Kondisi ini, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, tak lepas dari kebijakan pemerintah menggelontorkan insentif. Pelonggaran fiskal telah mendorong pelaku industri hulu migas mengucurkan investasi untuk memacu produksi.
“Pengembangan sektor migas menghadapi tantangan di sisi eksplorasi dan eksploitasi, meski jumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah relatif banyak,” kata Febrio Nathan Kacaribu dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Panja Penerimaan, Juni lalu.
Ia menyebutkan, cadangan potensial dari 128 basin migas, baru 20 yang menghasilkan produksi, di antaranya karena kurangnya infrastruktur pendukung.
“Risiko eksplorasi yang masih tinggi dan tantangan infrastruktur yang minim, menjadi pertimbangan mereka (KKKS)” kata Febrio.
Melihat kondisi ini, Febrio mengatakan pemerintah sudah menyiapkan jurus supaya KKKS mau berinvestasi. Pertama, dengan menyederhanakan dan memudahkan perizinan.
Kedua, meningkatkan dan memperluas kebijakan pelayanan satu pintu. Ketiga, transformasi sumber daya ke cadangan.
Keempat, mempertahankan tingkat produksi eksisting yang tinggi. Kelima, mempercepat chemical Enhanced Oil Recovery (EOR) dan melakukan eksplorasi untuk penemuan cadangan besar.
"Ini semua dikombinasikan dengan pengelolaan biaya yang efisien sehingga bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas," imbuhnya.
Di sisi lain, pemerintah juga memberikan amunisi tambahan berupa insentif fiskal atau pajak. Salah satunya, pajak korporasi akan diturunkan dari 22 persen pada 2020 menjadi 20 persen pada 2022.
Tapi, dividen tax akan naik dari 15,6 persen menjadi 16 persen. Secara keseluruhan, kebijakan pajak tetap menguntungkan pemerintah meski turun dari 37,6 persen menjadi 36 persen.
Pengamat Perminyakan Indonesia, Rudi Rubiandini segendang sepenarian. Ia mendukung pemberian insentif dengan mendorong perubahan kebijakan fiskal hulu migas. Cara ini diyakini mampu menarik kembali para investor, sehingga mampu mengangkat dan mengelola cadangan minyak dan gas bumi dalam negeri.
Dengan perubahan kebijakan fiskal yang tepat, maka diharapkan bisa meyakinkan perusahaan global melirik kembali industri hulu migas. Meski retorika dunia sedang mengarah pada energi alternatif.
"Jadi yang pertama bahwa para pebisnis besar internasional, seperti Shell, Total E&P, Chevron, sudah banyak yang ingin berinvestasi ke energi yang lain, yaitu Energi Baru Terbarukan (EBT). Sehingga beberapa biaya investasi ke industri migas juga dipastikan tersedot banyak ke EBT," ujar Rudi, ditemui baru-baru ini.
Oleh karena itu, kesempatan mendapat investasi dunia internasional di industri migas, saat ini banyak berkurang. Investor akan memilih negara-negara yang memberikan iklim investasi migas yang paling menarik. Sehingga Indonesia pun harus mengambil langkah cepat untuk merumuskan strategi-strategi membuat iklim investasi migas yang menarik di mata dunia.
"Biaya investasi di Indonesia cukup besar karena untuk menggerakkan hulu migas sampai berproduksi cukup menantang," katanya.
Adapun beberapa sumur tua yang saat ini masih memiliki cadangan migas, kata dia, harus dikelola dengan teknologi yang lebih rumit. Sementara proses eksplorasi sumur-sumur baru yang menjanjikan, juga masih banyak. Namun lokasinya semakin sulit dijangkau. Yakni lapangan-lapangan di lepas pantai, yang tentunya juga berdampak pada tingginya biaya operasional dan investasi.
"Biaya besar tapi juga dengan risiko yang tinggi, sehingga dia (investor) mungkin akan datang lagi ke Indonesia dengan catatan fiscal term harus lebih atraktif," tukasnya.
Menurutnya pemerintah harus berani memberikan nilai kontrak yang lebih atraktif. Lantaran sistem kontrak yang sebelumnya ditawarkan sudah out of date. Yakni kontrak yang dibuat sejak 50 atau 60 tahun lalu, di mana saat itu sumur-sumur di Indonesia lebih mudah dijangkau atau masih perawan. Maka, nilai kontraknya pada saat itu sudah dinilai cukup atraktif dan mampu mengundang para investor untuk berbisnis di Indonesia.
"Satu-satunya cara kita harus mengubah attractiveness tadi. Term and contract diubah menjadi lebih menarik. Jadi walaupun cadangan migas kita lebih sedikit atau lokasinya lebih remote, tetapi kalau diberi daya tarik lebih besar mungkin mereka masih mau," ungkapnya.
Ia mencontohkan perubahan seperti apa yang menurutnya cukup menarik bagi investor saat ini. Misalnya persentase pembagian minyak yang sebelumnya 15 persen untuk investor, bisa dinaikkan.
"Idealnya kalau menurut saya bisa ditawarkan 20 sampai 25 persen. Kasih saja, karena walaupun pendapatan kita turun dari 85 persen menjadi 65 persen misalnya, tetapi volumenya besar karena perusahan migas akan melakukan eksplorasi besar-besaran. Artinya anak cucu kita akan mendapatkan prosperity (kemakmuran) dari hasil energi fosil secara real-nya, banyak," katanya.
Ia menerangkan, pendapatan dari sektor migas saat ini hanya USD 12 miliar per tahun. Tetapi dengan persentase pembagian dalam kontrak fiskal yang dinaikkan 20 sampai 25 persen dan berhasil mengundang investor. Maka 65 persen pembagian untuk negara mungkin bisa meningkatkan pendapatan yang lebih besar dari nilai yang sekarang. Sebab volume migas yang bisa diproduksi juga tinggi. "Pendapatan diharapkan bisa mencapai USD 40 miliar seperti zaman dulu lagi," katanya.
Dengan datangnya para investor dunia, maka pengaruh multiplier effect industri hulu migas juga dipastikan akan lebih besar terhadap perekonomian nasional.
Efek berganda itu bisa menggerakkan perekonomian dari sektor lain. Ia mencontohkan bakal ada rekrutmen tenaga kerja, membangkitkan jasa servis lain yang dibutuhkan sebagai bagian dari kegiatan usaha penunjang hulu migas. Efek berganda itu, juga dipastikan mampu mendorong perekonomian di daerah.
TINGKATKAN PRODUKSI DUA KALI LIPAT
Pemberian insentif oleh pemerintah diakui Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) sangat penting dalam mendukung keekonomian dalam upaya mencapai target produksi.
General Manager PHKT, Raam Krisna mengatakan pemberian insentif akan mampu mendukung program-program sumur pengembangan, mempertahankan dan meningkatkan produksi.
PHKT, lanjut Krisna, sedang menunggu insentif dari pemerintah untuk menopang rencana kerja dan meningkatkan target produksinya.
Insentif itu akan sangat berpengaruh terhadap kenaikan target produksi. Bahkan bisa mencapai dua kali lipat dari pada angka produksi PHKT saat ini.
Raam Krisna menyebut, PHKT telah menyerahkan proposal penambahan insentif di Wilayah Kerja (WK) East Kalimantan - Attaka kepada SKK Migas, pada 30 Maret 2021.
Kemudian pada 31 Mei 2021 diajukan juga dokumen suplemen untuk proposal insentif PHKT. "Jadi untuk dapat diketahui, memang di WK East Kalimantan-Attaka merupakan WK dengan sistem kontrak Gross Split," ujar Krisna.
Pentingnya Insentif Migas Bagi KKKS dan Pemerintah
Sabtu 27-11-2021,16:11 WIB
Editor : Yoyok Setiyono
Kategori :