Jakarta, nomorsatukaltim.com – Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati pelaksanaan Pilkada serentak pada 2024, sesuai Undang Undang Nomor 10 tahun 2016. Dengan keputusan itu, akan ada ratusan daerah yang mengalami kekosongan kepala daerah. Masa jabatan 101 kepala daerah habis pada 2022 dan 170 kepala daerah lainnya, habis pada 2023. Untuk mengatasi kekosongan itu, tercium gelagat pemerintah akan mengangkat penjabat dari kalangan TNI/Polri. Seperti pada tahun 2016 dan 2018 lalu. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai wacana ini akan membangkitkan dwifungsi ABRI pada masa orde baru. "Kita punya trauma sejarah terkait dengan dwifungsi ABRI, mestinya hal-hal yang bisa memicu kecurigaan publik, kekhawatiran publik, harus dihindari oleh pemerintah," ujar Titi Anggraini dilansir Republika.co.id. Titi mendesak Presiden Joko Widodo menyetop isu ini dengan komitmen tidak melibatkan TNI/Polri sebagai pelaksana tugas kepala daerah. Agar institusi keamanan ini tetap netral. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah menyarankan pemerintah menunjuk sekretaris daerah (Sekda) sebagai penjabat (Pj) kepala daerah Hal ini dinilai lebih baik dibandingkan perwira tinggi TNI/Polri. "Menurut saya, lebih baik pemerintah mengangkat saja Sekda-nya. Karena Sekda yang tahu persis kondisi birokrasi internal luarnya," jelas Trubus kepada Merdeka.com. Trubus mengatakan apabila pemerintah ingin menjadikan perwira TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah, sebaiknya hanya ditempatkan di wilayah-wilayah yang rawan terjadi konflik. Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, berharap pemerintah objektif, dan transparan dalam menempatkan Pj kepala daerah dalam Pilkada 2024. "Berbahaya kalau misalnya yang ditempatkan itu posisinya tidak netral dan kemudian berpihak pada suatu kekuatan politik tertentu," tuturnya. Sementara Guspardi Gaus berharap, perwira aktif di TNI/Polri tak mengisi posisi pelaksana tugas kepala daerah. "Opsi penunjukan pelaksana jabatan dari TNI-Polri yang aktif harus dikaji secara mendalam. Jangan TNI/ Polri diseret untuk mengisi kekosongan jabatan pelaksana tugas kepala daerah. Karena itu jabatan politis, bukan jabatan karir," ujar Guspardi dalam pernyataan resmi (1/10). Dikatakannya, mekanisme penunjukan pelaksana jabatan kepala daerah itu sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 mengatakan bahwa pejabat Gubernur, Bupati dan Wali Kota berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Untuk gubernur akan diisi oleh pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan bupati/wali kota akan diisi oleh pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi pratama. Di samping itu, ia juga meminta Kementerian Dalam Negeri menjaga citra Presiden Joko Widodo di sisa waktu pemerintahannya. Guspardi tak ingin Presiden Jokowi dipandang sebagai sosok yang dinilai ingin menarik kembali TNI-Polri untuk berpolitik. Beberapa tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri pernah menunjuk perwira TNI atau Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah. Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri perlu mengkaji secara mendalam opsi penunjukan TNI-Polri untuk mengisi posisi pelaksana jabatan kepala daerah ini. Bagaimanpun Pola komando yang melekat pada TNI dan Polri sangat berbeda dengan pola pelayanan pada birokrat. "Belajar dari pengalaman sebelum dan sesudah reformasi. Apalagi, saat ini masih banyak sosok setingkat Direktur Jenderal (Dirjen) di kementerian yang dapat mengisi posisi pelaksana jabatan kepala daerah. Banyak Dirjen di Kemendagri, kalau seandainya tidak memenuhi jumlahnya, baru di ambil dari ke kementerian lain," pungkas anggota Baleg DPR RI tersebut. Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan angkat bicara. Dia menyatakan, penunjukan TNI/Polri sebagai Pj kepala daerah tidak dimungkinkan, jika mengacu undang-undang. "Mengacu kepada undang-undang, penunjukkan perwira TNI dan Polri aktif ini tidak dimungkinkan. Jika ada perwira TNI/Polri aktif yang ditunjuk, syaratnya harus sudah pensiun atau mengundurkan diri, karena Gubernur harus PNS atau pejabat di level madya. Sesuai Undang-undang yang berlaku," kata Zulhas dalam unggahan Twitter. Zulhas pun memberikan rujukan Undang-Undang yang membuat usulan pengisian TNI-Polri tidak memungkinkan dilakukan. "Rujukannya adalah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 47 ayat (1): “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Selain itu pula ada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 ayat (3): “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” Dengan adanya dua aturan tersebut, kata Zulhas, sudah sangat jelas. Menurutnya, UU tersebut harus diikuti dan dipatuhi. "Saya kira ini jelas sekali. Sebaiknya kita ikut aturan dan undang-undang yang berlaku. Pengisian Penjabat Gubernur yang ditunjuk Mendagri harus mengikuti aturan perundangan yang berlaku tersebut," katanya. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benny Irwan dalam pernyataan yang ditulis sejumlah media menyebut pihaknya belum membahas wacana penunjukan perwira TNI-Polri sebagai penjabat (Pj) kepala daerah. Dalam hal ini, khusus sebagai Pj gubernur. “Saat ini masih fokus untuk mempersiapkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024," kata Benny Irwan. Wacana penunjukan TNI/Polri selaku Pj gubernur mengemuka lantaran Kemendagri disebut akan membuka kemungkinan mengenai hal tersebut untuk Pilkada 2024. Sementara itu, jika merujuk kondisi sebelumnya pada 2018, terdapat sjeumlah jenderal polisi sebagai Pj gubernur. Seperti Komisaris Jenderal (Pol) Mochamad Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat, Irjen Pol Carlo Brix Tewu Pj Gubernur Sulawesi Barat, atau Mayjen TNI Soedarmo sebagai Pj Gubernur Aceh. (*YOS)
Pilkada 2024: Ramai-Ramai Tolak TNI – Polri Pj Kepala Daerah
Minggu 03-10-2021,18:41 WIB
Editor : Yoyok Setiyono
Kategori :