Belajar dari Krisis Inggris, Batu Bara Masih Jadi Sumber Energi Andalan 

Kamis 30-09-2021,21:14 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Balikpapan, nomorsatukaltim.com- Inggris kembali menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Di tengah gencarnya negara-negara maju menyerukan meninggalkan energi fosil. Lalu, mengampanyekan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Bagaimana di Tanah Air? Krisis energi yang kini melanda Inggris dan beberapa negara Eropa menggambarkan transisi energi tidak mudah dilakukan. Batu bara, meski disebut sumber energi paling kotor, nyatanya paling diandalkan negara di dunia. Ini menjadi potret bahwa transisi perpindahan dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan tidak semudah itu dijalankan. Hal ini diakui perusahaan pembangkit listrik, Drax, Kamis (23/92021). Ketergantungan pada gas alam yang harganya naik dua kali lipat sejak Mei, membuat otoritas mengambil jalan ini sebagai solusi listrik tetap menyala bagi warga. "Fasilitas ini (PLTU) telah memenuhi peran penting dalam menjaga lampu warga agar tetap menyala saat sistem energi berada di bawah tekanan yang cukup besar," kata Drax dalam sebuah pernyataan ke AFP, Jumat (24/9/2021) dikutip dari CNBC. Drax memiliki PLTU terbesar di negara itu. Terletak di Yorkshire Inggris Utara. "Kami sadar, negara ini mungkin memiliki masalah mendesak sekarang dan jika ada sesuatu yang dapat dilakukan Drax, kami akan melakukannya," tegas Chief Executive Will Gardiner kepada Financial Times. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berkembang mencoba untuk mengikuti kampanye negara-negara maju untuk meninggalkan batu bara dan beralih ke energi baru terbarukan. Indonesia bahkan berencana memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara secara bertahap mulai 2025 mendatang. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyarankan pemerintah Indonesia bisa memetik pelajaran dari Inggris. “Kalau kita lihat di Amerika Serikat, energi baru terbarukan (EBT) hanya 12 persen pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri,” ujarnya, Rabu (29/9/2021). Komaidi mengungkapkan, krisis energi melanda Inggris dan beberapa negara Eropa pekan ini menyadarkan mereka untuk tidak sepenuhnya mengandalkan dan bergantung pada EBT. Terutama harga gas meroket 250 persen akibat keterbatasan pasokan. Sejauh ini, kata dia, teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Komaidi melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah. Sehingga Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi karena energi baru terbarukan bisa dikembangkan tetapi belum kompetitif. Menurutnya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU ultra super critical (USC) yang bisa dihitung biaya produksinya. “EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional di mana 2050 konsumsi fosil masih besar dan EBT hanya 23 persen maksimal,” terang Komaidi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target netralitas karbon tercapai pada 2060. Menurutnya, penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan hingga kini. "Untuk saat ini (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," kata Eddy. Lebih lanjut dia mengingatkan bahwa Indonesia juga harus memiliki peta jalan energi hijau untuk 30 tahun mendatang.  Sebagai target netralitas karbon energi. Pemerintah diminta untuk mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon. Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan. Yang menyatakan bahwa transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi. Mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, Indonesia saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut. “Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” ucap Mamit. Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari batu bara. Sekarang, lanjut Mamit, harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, maka akan membebani PLN dan keuangan negara. Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi, sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke energi baru terbarukan. “Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa, jangan terburu-buru nanti kejadian seperti Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan," pungkas Mamit. */ben/an/eny

Tags :
Kategori :

Terkait