Menganalisa Angka Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Triwulan II-2021; Tak Menggambarkan Kualitas

Kamis 12-08-2021,15:20 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan II-2021 mengalami kenaikan signifikan. Seturut dengan laporan pertumbuhan ekonomi nasional secara triwulan yang memberi rekor tertinggi dalam beberapa tahun.

Capaian ini menjadi catatan apik setelah beberapa kuartal pertumbuhan ekonomi berada di level resesi. Namun dalam pengamatan ekonom, angka-angka prestisius itu tak lebih dari sekadar buaian statistik. Pertumbuhan yang hanya indah dalam goresan tinta di atas kertas. Tapi tidak memberi dampak signifikan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mengumumkan pada Kamis (5/8) lalu, ekonomi Benua Etam pada triwulan II-2021 bertumbuh sebesar 5,76 persen secara year on year (yoy) terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020. Nilai perbaikan ini berangkat dari capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang terkontraksi sebesar 5,35 persen. Jika ditilik berdasarkan lapangan usaha (LU), pertumbuhan ekonomi  kuartal II/2021 ini paling besar terjadi pada industri pengolahan. Yang terdongkrak sebesar 8,48 persen (yoy). Dari posisi kuartal II tahun sebelumnya. Yang terkontraksi sebesar 3,98 persen (yoy). Sektor pertambangan sebagai LU utama Kaltim tercatat juga mengalami perbaikan kinerja, dengan pertumbuhan sebesar 5,58 persen (yoy). Itu terjadi seiring dengan masih tingginya harga batu bara global akibat meningkatnya permintaan dari negara mitra dagang. Selanjutnya LU bidang pertanian dan perdagangan di provinsi ini juga tercatat tumbuh positif masing-masing sebesar 0,37 persen (yoy) dan 5,29 persen (yoy). Peningkatan ini disebabkan adanya kenaikan permintaan komoditas pertanian di tengah kenaikan harga komoditas hingga mencapai level tinggi. Meski begitu, ekonom Universitas Mulawarman, Hairul Anwar mengingatkan bahwa pertumbuhan positif itu hanya merupakan pertumbuhan secara periodik. Bukan pertumbuhan tahunan. Berita Terkait: Kaltim yang Penuh Keberuntungan soal Pertumbuhan Ekonomi Bahkan angka tersebut bertolak dari posisi 'nyungsep' pada pertumbuhan ekonomi periode yang sama tahun sebelumnya. Sehingga ia melihatnya sebagai angka pertumbuhan yang biasa. Hampir tak ada nilai prestisius dalam laporan itu. "Jangan lupa, itu memang terlihat tinggi. Tapi kan itu yoy. Artinya angka itu dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Jadi ini kenaikan dari posisi minus tahun sebelumnya. Bukan dimulai dari nol. Orang mikirnya kadang-kadang naiknya itu dari nol. Itu yang salah," sebutnya memulai perbincangannya dengan Disway Kaltim, Selasa (10/8/2021). Menurutnya pula, tidak ada hal baru. Bahwa pertumbuhan besar dialami sektor pertambangan, perkebunan dan industri pengolahan. Sebab lapangan usaha pertambangan dan perkebunan adalah sektor andalan atau dominan bagi Kaltim. Sementara tingginya kenaikan pada sektor industri pengolahan, dikatakan hanya mengikuti kenaikan di sektor perkebunan. LU itu dikatakan hanya ikut terkerek karena bahan utama yang diolah pada jenis industri tersebut di Kaltim adalah hasil perkebunan. Lantas mengapa kenaikan pertumbuhan ekonomi Kaltim begitu melesat? Pertama, kata Hairul Anwar, kondisi mesti dipahami secara lebih mendalam pada level paling fundamental. Yakni bahwa secara tradisional, sejak dulu perekonomian daerah ini tetap bertumpuh pada nilai ekspor. Sehingga dalam konteks ini sangat mudah untuk menebak, katanya. Yaitu apabila harga komoditas batu bara naik, maka otomatis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau GDP Kaltim juga akan ikut naik. Demikian juga dengan sektor perkebunan. Apalagi kali ini dua komoditas tersebut mengalami kenaikan harga di pasarnya masing-masing. Sehingga secara otomatis pula akan ada kenaikan permintaan yang selalu berbanding lurus dengan kenaikan harga, dalam teori ekonomi supply-demand. Dengan begitu PDRB yang menjadi patokan  utama penilaian pertumbuhan ekonomi dengan mudahnya akan turut terdongkrak. "Kelihatannya kenaikan nilai pertumbuhan ekonomi ini jadi fenomenal. Padahal itu sudah sesuai dengan kenyataan. Fitrahnya. Bahwa harga batu bara dan minyak sawit sedang tinggi. Akibatnya itu berimbas pada PDRB Kaltim," jelas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul itu. "Selain itu, selama ini juga orang bilang pandemi-pandemi. Ya enggak salah-salah amat. Mungkin belum paham soal fundamental ekonomi Kaltim," ia menambahkan. Apakah itu riil? "Jelas tidak," ujar Cody--sapaan Hairul Anwar. "Itu kan angka dari PDRB yang kita hasilkan. Jadi produksi batu bara berapa, harganya berapa. Harga produk hasil perkebunan berapa, angka produksinya berapa, dapatlah angkanya," sambungnya. Cody menuturkan, pertumbuhan ekonomi memang dapat dihitung dengan banyak cara. Bisa dari sisi pendapatan, bisa juga dari sisi pengeluaran. Banyak cara itu kemudian menghasilkan sudut pandang yang berbeda. Umumnya, orang lebih senang menghitung dari aspek pengeluaran, karena kelihatannya lebih riil. "Sifat dasar manusia lah, kalau ditanya pengeluaran cenderung membesar-besarkan. Kalau ditanya pendapatan cenderung mengecil-ngecilkan. Tapi untuk penelitian lebih mendekati angka kebenaran itu angka pengeluaran," tuturnya. BPS, kata Cody lagi, umumnya menggunakan semua parameter tersebut. Dengan keluaran rumusan; pertama menghitung angka konsumsi masyarakat. Di tambah dengan nilai investasi swasta. Lalu di tambah pengeluaran pemerintah dan kemudian angka net ekspor. "Empat parameter itu kalau ditambahkan semua, itulah besarnya PDRB kita. Setelah itu, tinggal dibandingkan dengan angka PDRB periode yang sama tahun sebelumnya. Maka kita ketemu angka pertumbuhan ekonomi," jelas lulusan Georgia State University (USA) itu. Lalu apakah itu bagus? Menyandarkan penentuan pertumbuhan ekonomi pada PDRB atau GDP. "Masalahnya pada PDRB sebagai patokan pertumbuhan ekonomi itu satu saja, dia tidak mencerminkan equalitas atau kualitas. Sebenarnya inilah yang menjadi topik perdebatan saya dan profesor saya di Amerika," ucapnya. "Katakanlah begini. Anda punya lima ruko. Ruko 1 penghasilannya luar biasa, misal 10. Ruko lainnya penghasilannya hanya 1. Jadi kalau ditambahkan semuanya jadi 14. Lalu dibagi lima, ketemu rata-rata jadinya. Kan angka rata-rata itu tidak mencerminkan keadaan realitasnya. Bahwa sebetulnya yang sejahtera cuma ruko satu. Yang lain tidak ada apa-apanya." Dari situ, Cody menggambarkan, bahwa artinya PDRB Kaltim yang tinggi jadi tidak mencerminkan apa-apa. Karena semua tahu sektor pembentuk dominannya adalah pertambangan dan perkebunan. Pertambangan itu, sebagai entitas perekonomian dikatakan memiliki ciri khusus. Yakni padat modal dan tidak memerlukan tenaga kerja banyak. Sehingga orang yang betul-betul menikmatinya tidak banyak. "Misalnya, saya dan Anda bergaji Rp 3 juta per bulan. Yang di sana ada orang bergaji Rp 100 juta per bulan. Jika ditambahkan jadinya Rp 106 juta. Kemudian dibagi tiga sehingga muncul angka rata-rata. Maka hasilnya kelihatan tinggi kan. Padahal yang menikmati gaji tinggi itu tidak banyak." Itulah masalahnya dengan Kaltim, beber Cody.   PDRB menurutnya, hanya bagus untuk mengukur secara keseluruhan. Tapi indikator itu tidak mencerminkan kualitas pertumbuhan itu sendiri. Masalahnya, tidak ada alat ukur lain yang lebih baik. Selain parameter yang ada saat ini itu. Yang digunakan secara internasional itu. Meski setelah itu, orang-orang sebaiknya melihat ke bawah. Lebih jauh dan lebih detail. Sektor-sektor apa saja yang memengaruhi pertumbuhan itu. "Dengan memeriksa per sektor itulah kita bisa bilang bahwa angka ini tidak betul," imbuhnya. Salah satu yang dapat diperiksa lebih jauh yakni nilai gini ratio. Yang merupakan alat ukur kesenjangan jumlah yang kaya dan miskin. Di mana semakin tinggi angka gini ratio maka semakin besar ketimpangan. Artinya semakin jelas menunjukkan bahwa kualitas PDRB semakin buruk. Artinya ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Dengan begitu ia menyimpulkan, bahwa PDRB tidak bisa berdiri tunggal untuk melihat kualitas pertumbuhan ekonomi. "Kita harus melihat lagi gini ratio," sebutnya. DAS/ENY
Tags :
Kategori :

Terkait