Ekonomi Kaltim Tumbuh, Kemiskinan Menurun, Pengamat: Baru Sebatas Statistik

Jumat 06-08-2021,12:00 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur melaporkan ekonomi daerah ini tumbuh sebesar 5,76 persen. Sejalan dengan laporan itu, angka kemiskinan dilaporkan ikut berkurang. Pengamat menilai situasi di lapangan berbeda.

Nomorsatukaltim.com - Dalam laporan yang dipublikasikan Kamis (5/8), BPS mencatat ekonomi Triwulan II-2021 terhadap Triwulan II-2020 mengalami peningkatan sebesar 5,76 persen (y-on-y). Situasi ini mengalami perbaikan dari capaian di Triwulan II-2020 yang terkontraksi sebesar 5,35 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi secara y-on-y dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial yang tumbuh sebesar 17,21 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 12,41 persen. Jika dilihat secara triwulan, Triwulan II-2021 dibandingkan Triwulan I-2021 tumbuh sebesar 1,87 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi secara q-to-q pada Triwulan II-2021 dicapai oleh Lapangan Usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib yang tumbuh sebesar 15,27 persen. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi terjadi pada Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sebesar 60,98 persen. Sementara jika dibandingkan per semester, pada Semester I-2021 tumbuh 1,26 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Seiring dengan data itu, BPS juga mencatat jumlah warga miskin berkurang secara absolut sebanyak 2,22 ribu orang atau 0,10 persen. Penurunan itu didata sejak September 2020. Pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin Kaltim sebesar 241,77 ribu (6,54 persen). Sedangkan pada September 2020, tingkat kemiskinan berada di angka 6,64 persen atau sebanyak 243,99 jiwa. Berdasarkan tempat tinggal, selama periode tersebut jumlah penduduk miskin di perkotaan turun sebanyak 0,83 ribu orang. Dari 128,11 ribu jiwa pada September 2020 menjadi 127,28 ribu jiwa pada Maret 2021. Jumlah warga miskin di daerah perdesaan turun sebanyak 1,40 ribu orang. Dari 115,88 ribu orang pada September 2020 menjadi 114,48 ribu orang pada Maret 2021. BPS juga mempublikasikan adanya perubahan garis kemiskinan yang mengiringi penurunan jumlah penduduk miskin sepanjang periode tersebut di Kaltim. Selama September 2020 hingga Maret 2021, garis kemiskinan Kaltim mengalami kenaikan sebesar 2,90 persen. Dari Rp. 669.622 pendapatan per kapita per bulan pada September 2020 menjadi Rp. 689.035 pendapatan per kapita per bulan pada Maret 2021. Garis kemiskinan merupakan suatu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dan non makanan per kapita per bulan yang harus dipenuhi. Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. "Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan)," tulis BPS Kaltim dalam publikasinya. Pada Maret 2021, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,45 persen. Garis kemiskinan di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan. Garis kemiskinan di daerah perkotaan pada masa tersebut tercatat sebesar Rp 695.824. Sedangkan di daerah perdesaan tercatat sebesar Rp 673.636. Hal ini menggambarkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup di daerah perkotaan masih lebih mahal dibandingkan dengan daerah perdesaan. Komoditi makanan yang mempunyai andil terbesar dalam pembentukan garis kemiskinan makanan tersebut antara lain beras, rokok kretek filter, telor ayam ras, dan mie instan. Sementara lima komoditi terbesar penyumbang garis kemiskinan non makanan yaitu perumahan, bensin, listrik dan pendidikan. Pada periode September 2020 sampai Maret 2021, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Kaltim terpantau mengalami kenaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,031 pada keadaan September 2020 menjadi 1,223 pada Maret 2021. Indeks Keparahan Kemiskinan juga naik dari 0,293 menjadi 0,337 pada periode itu. Sementara itu, untuk mengetahui apakah pembangunan suatu wilayah dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0-1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi. Gini Ratio Kaltim dalam catatan BPS pada Maret 2021 tercatat sebesar 0,334. Angka ini mengalami penurunan 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,335.

Baru Sebatas Angka

Terkait penurunan angka kemiskinan, Pengamat Sosial, Nasrullah, melihat sebagai daya tahan rakyat menghidupi diri sendiri di tengah kebijakan pengendalian wabah. "Tetapi bagaimanapun, angka 6,54 persen atau 241,77 ribu tetaplah angka yang tinggi. Sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia, mestinya Kaltim ada di angka 3-5 persen. Layaknya di bawah 5 persen," tutur Nasrullah, Senin (2/8). Ia menganalisis, bahwa angka kemiskinan  yang masih berada di atas lima persen itu menunjukkan secara sosio-kultural, redistribusi sumber daya dan kekayaan daerah di Kaltim belum sepenuhnya merata. Kaltim, mestinya mampu menekan angka kemiskinan hingga di bawah lima persen. Bahkan, menurutnya, sangat mungkin berada di kisaran 0-1 persen. Sebab, kata Nasrullah, asumsi besarnya, bahwa Kaltim adalah provinsi terkaya di Indonesia. Yang telah lama menjadi andalan eksploitasi sumber daya alam dan perkebunan skala besar. Mulai dari perkebunan kelapa sawit berskala besar, industri pertambangan batubara hingga minyak dan gas bumi. "Angka itu semestinya dilihat secara kualitatif dengan perbandingan potensi yang memungkinkan Kaltim bebas dari kemiskinan. Kosa kata kemiskinan mestinya tidak kita kenal di Bumi Etam ini dengan potensi kekayaan daerah yang luar biasa melimpahnya," ungkap pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman itu. Dalam kaitannya dengan situasi terkini, yakni fakta penurunan angka kemiskinan di tengah kesulitan ekonomi akibat wabah virus, Nasrullah menelaah hubungan antara tingkat kemiskinan, pandemi dan sejumlah kebijakan pemerintah. Dia menyebut, juga berdasarkan data BPS, sebelum atau di awal COVID-19 resmi diumumkan di Indonesia, Maret 2020, angka kemiskinan di Kaltim berada pada 230,26 ribu jiwa. Sementara itu, setelah setahun melalui wabah pandemi, Maret 2021 angka kemiskinan provinsi ini beranjak pada angka 241,77 ribu jiwa. Artinya selama setahun periode tersebut, terdapat kenaikan sebanyak 11,51 ribu jiwa penduduk miskin. "Itu artinya terjadi kenaikan signifikan selama setahun pandemi ini," imbuh dia. Padahal, menurut dia, Kaltim selayaknya mampu mensejahterakan rakyatnya dengan segala kekayaan alam yang dimilikinya. Terkait penurunan angka kemiskinan pada periode September 2020 sampai Maret 2021, Nasrullah mengatakan bahwa angka yang menurun itu mestinya dibaca secara kualitatif pada kaitannya dengan intervensi pemerintah melalui bantuan sosial, stimulus ekonomi, dan ragam bentuk dana talangan yang dikeluarkan selama pandemi Maret 2020 sampai Maret 2021 ini. "Itupun, dengan ragam pergantian kebijakan yang membingungkan dan dirasa lucu di masyarakat," imbuh dia. Kebijakan bergonta-ganti itu menurutnya terkesan menghindari kewajiban pemerintah memberlakukan karantina kesehatan atau wilayah. Yang mewajibkan pemerintah memberi makan rakyat miskin atau tidak mampu maupun yang terdampak oleh kebijakan karantina kesehatan dan karantina wilayah atau yang lazim dikenal dengan istilah lockdown. Dengan penghindaran itu saja, lanjutnya, angka kemiskinan tetap belum bisa pulih ke angka 230,26 ribu seperti semula di Maret 2020 sebelum atau di awal pandemi diumumkan di Indonesia. "Angka penurunan 0,10 persen itu juga perlu disandingkan dengan angka kasus COVID-19 di Kaltim yang termasuk tinggi secara nasional dan hampir semua wilayah kabupatennya yakni sekitar 80% termasuk dalam zona merah," tutur dia. "Jadi, dapat disimpulkan bahwa penurunan angka tersebut hanya baik secara statistik. Namun mesti dibayar secara mahal di lapangan. Yakni, sebagian besar wilayah Kaltim masuk zona merah COVID-19 dengan angka kasus cukup tinggi dan peristiwa kematian yang lumayan memilukan hati," ujar Nasrullah. *DAS/YOS
Tags :
Kategori :

Terkait