Sidang Iwan Ratman Panggil Saksi dari Internal Perusahaan, Aliran Dana Tanpa Persetujuan RUPS

Jumat 06-08-2021,08:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Sidang dugaan rasuah Iwan Ratman membuka fakta baru. Saksi dari internal perusahaan menyebut aliran dana ke perusahaan swasta tanpa persetujuan pemegang saham.

nomorsatukaltim.com - Sidang perkara dugaan rasuah di tubuh Perusahaan Daerah (Perusda) PT Mahakam Gerbang Raja Migas (PT MGRM) milik Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara itu, kembali digelar secara daring di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, Kamis (5/8/2021). Kembali menghadirkan terdakwa Iwan Ratman selaku mantan Direktur Utama PT MGRM sebagai pesakitan. Seperti diketahui, Iwan Ratman didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengerjaan proyek fiktif pembangunan tangki timbun dan terminal bahan bakar minyak (BBM), yang mengakibatkan negara menderita kerugian sebesar Rp 50 miliar. Proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM itu rencananya dibangun di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon. Namun pekerjaan itu tak kunjung terlaksana. Iwan Ratman lantas dituduh menilap uang proyek sebesar Rp 50 miliar dengan cara dialirkan ke perusahaan swasta miliknya. Dalam persidangan beragendakan pemeriksaan keterangan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, Zaenurofiq menghadirkan sebanyak lima orang saksi. Seluruhnya merupakan bagian dari internal dari PT MGRM. Namun dari seluruh saksi yang dihadirkan JPU, majelis hakim yang dipimpin Hasanuddin selaku ketua majelis hakim, didampingi Arwin Kusmanta dan Suprapto sebagai hakim anggota, hanya berkesempatan memintai keterangan dari dua orang saksi. Lantaran keterbatasannya waktu. Kedua orang yang dimintai kesaksiannya itu adalah Muhammad Taufiq selaku komisaris PT MGRM, dan Ahmad Iqbal Nasution sebagai Plt Direktur Utama PT MGRM. Sidang yang sebelumnya sempat tertunda ini akhirnya kembali dibuka untuk umum. Dengan ditandai ketukan palu dari Ketua Majelis Hakim. "Terdakwa sudah siap, semua sudah siap. Baik dengan ini sidang perkara terdakwa dengan nomor 25/Pid.Sus-TPK/2021/PN Smr kembali dibuka," ucap Hasanuddin. Di awal persidangan, saksi yang dimintai keterangannya adalah Muhammad Taufiq. Disampaikannya, dirinya sebelum menjabat sebagai komisaris di PT MGRM, merupakan pensiunan aparatur sipil negara (ASN) dengan posisi akhir sebagai Kabag Ekonomi di Sekretariat Pemprov Kaltim. Dalam kesempatan itu, Taufik sapaan karibnya, membenarkan perihal adanya dana dividen  yang diterima dari Pertamina Hulu Mahakam sebesar 10 persen di 2019. Dari jumlah itu, Pemkab Kukar mendapatkan bagian 3,5 persen. Sedangkan sisanya mengalir ke Pemprov Kaltim. Dana pembagian hasil dari Provinsi Kaltim dan Pemkab Kukar, yang kemudian ditampung oleh PT MGRM total keseluruhannya sebesar Rp 191 Miliar. Dari nilai seluruh anggaran itu, terdakwa Iwan Ratman selaku Direktur Utama PT MGRM, kemudian merencanakan untuk membuat proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM di Samboja, Balikpapan dan Cirebon. "Jadi terkait dengan pembelian saham, diketahui terdakwa Iwan Ratman di dalam visi misi PT MGRM akan berencana melakukan bisnis pembangunan tangki timbun dan terminal BBM," ungkap Zaenurofiq dikonfirmasi usai persidangan, Kamis (5/8/2021) sore. Hanya saja, berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), rencana proyek itu tidak dijelaskan secara gamblang. "Pengakuan saksi memang ada sempat dibicarakan. Namun tidak sampai disebutkan berapa nilai nominalnya (proyek)," sambung pria yang akrab disapa Rofiq tersebut. Dalam proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM, Iwan Ratman berencana melakukan sistem golden share. Dan biayanya menggunakan dana dari hasil dividen sebesar 10 persen tersebut. Dalam sistem golden share ini, rencananya PT MGRM juga akan mendapatkan bagi hasil dari investor. "Namun faktanya kan tidak. Ternyata Iwan Ratman mengambil kebijakan sendirian tanpa persetujuan komisaris ataupun melalui RUPS," jelasnya. Lebih lanjut Rofiq menyampaikan, dari hasil fakta persidangan, uang sebesar Rp 50 miliar yang berasal dari total keseluruhan dana dividen sebesar Rp 191 miliar itu, rupanya malah dipakai terdakwa. Dialirkan ke perusahaan swasta, yang belakangan diketahui adalah miliknya. Uang sebesar itu dialirkan secara bertahap pada 2019 lalu. Dengan rincian, sebesar Rp 10 miliar digunakan sebagai pinjaman dana ke PT Petro T&C. Sedangkan untuk uang sebesar Rp 40 miliar, motifnya digunakan untuk pembelian saham pembangunan tangki timbun melalui anak perusahaan PT Petro T&C, bernama PT Petro Indo Tank. Sehingga bila diakumulasikan, totalnya sebesar Rp 50 miliar. Untuk Rp 40 miliar digunakan untuk pembelian saham pembangunan tangki timbun. "Mengalirnya dana Rp 50 miliar ini secara bertahap. Dari Rp 50 miliar ini, Rp 10 miliar dulu motifnya itu pinjaman. Yang kemudian Rp 40 miliar itu juga bertahap, yaitu mengenai untuk akuisisi saham pembangunan tangki timbun di Samboja. Melalui PT Petro T&C yang kemudian untuk anak perusahaannya PT Petro Indo Tank itu tadi. Pertama Rp 5 miliar, kemudian Rp 2 miliar, hingga akhirnya total sebesar Rp 40 miliar," bebernya. Rofiq menyampaikan, saksi juga mengatakan, mengenai aliran dana sebesar Rp 50 miliar itu, terdakwa tidak pernah membahasnya. Ataupun disetujui tanpa melibatkan komisaris maupun melalui RUPS. "Jadi tahu-tahunya ada laporan keuangan yang menjadi temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bahwa ada peminjaman dana sebesar Rp 10 miliar dan kemudian ada laporan mengenai adanya pengeluaran uang sebesar Rp 40 miliar untuk pembelian saham pembangunan tangki timbun," ucapnya. Singkatnya, dari hasil temuan BPK ini, terdakwa tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Laporan keuangan itupun ditolak dan dianggap temuan BPK. Rofiq pun menjelaskan perihal dakwaan terhadap Iwan Ratman yang dianggap telah menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan orang lain tersebut. Hal itu mengenai perjanjian pembelian saham antara PT Petro Indo Tank dan PT MGRM, yang terjadi di Bulan April 2019. Diketahui, pada saat perjanjian itu diteken, rupanya terdakwa masih berstatus sebagai Direktur PT Petro T&C. Sehingga dengan kuasanya sebagai pimpinan di dua perusahaan itu, Iwan Ratman melakukan perjanjian sendiri. "Sementara di dalam perjanjian itu, terdakwa yang selaku direktur PT MGRM bertanda tangan. Sedangkan PT Petro T&C seolah-olah ditandatangani oleh keponakannya. Sedangkan diketahui, keponakannya itu baru diangkat sebagai direktur utama di PT Petro T&C pada bulan Juli 2019," jelasnya. Sementara itu, di dalam persidangan memang disampaikan, di mana lokasi proyek tangki timbun tersebut berada. Namun yang jadi masalah adalah, hingga kini bentuk proyek itu tidak ada. Atau disebut fiktif. Diperparah lagi, ternyata sertifikat saham yang dibeli pun juga tidak ada. "Ditanyakan kepada komisaris maupun Plt Direktur Utama PT MGRM yang sekarang, juga mengaku tidak pernah melihat bentuk dari sertifikat saham yang nilainya sebesar Rp 50 miliar itu. Jadi sampai sekarang pekerjaan proyek itu tidak ada alias fiktif," ucapnya. Proyek pembangunan tangki timbun ini rencananya baru akan dimulai di Samboja, Kukar. Sedangkan untuk proyek pembangunan tangki timbun di Balikpapan dan Cirebon, dalihnya akan dibangun dengan sistem adendum perjanjian antara PT MGRM dan PT Petro T&C yang dibuat oleh terdakwa. "Kemudian pada adendum pekerjaan itu ikut menambah di dua lokasi, yaitu di Cirebon dan Balikpapan. Dan ini pun sama, tidak berjalan juga," sambungnya. Setelah mendengarkan kesaksian Taufiq, giliran Ahmad Iqbal Nasution yang dicecar sejumlah pertanyaan oleh majelis hakim. Disampaikan, Ahmad Iqbal Nasution yang kini menjabat sebagai Plt Direktur Utama di PT MGRM, sebelumnya adalah Direktur Operasional. "Dia sekarang ini menggantikan posisi Iwan Ratman yang tersandung perkara rasuah. Sebelumnya Ahmad Iqbal Nasution menjabat sebagai direktur operasional. Sehingga mengetahui perkara yang dilakukan Terdakwa Iwan Ratman," ucap pria yang juga menjabat sebagai Kasi Penuntut Umum di Kejati Kaltim tersebut. Singkatnya, di dalam persidangan, Ahmad Iqbal Nasution membenarkan perjanjian kerja sama pembangunan tangki timbun dan aliran uang sebesar Rp 50 miliar ke PT Petro T&C, tanpa sepengetahuan Komisaris maupun dibahas di dalam RUPS. "Ada pembicaraan, cuman hanya dari Iwan Ratman, yang kala itu membicarakan mengenai rencana bisnis (PT MGRM) ke depan, yaitu dengan membangun tangki timbun di Samboja. Dengan sistem bisnisnya golden share," terangnya. Seharusnya, dalam sistem ini PT MGRM tidak perlu mengeluarkan sejumlah uang. Pasalnya tangki timbun akan dibangun oleh pihak investor yang akan melakukan kerja sama dengan PT MGRM. "Di dalam perjanjian juga dijelaskan, PT MGRM hanya sebatas operator saja. Kemudian bertugas untuk memproses ragam perizinan itu saja. Bukan menyiapkan dana untuk pembelian saham tadi," tandasnya. Sementara itu, diketahui pada persidangan sebelumnya, Iwan Ratman melalui kuasa hukumnya sempat memilih untuk eksepsi. Dengan menyatakan keberatan atas dakwaan dari penuntut umum, yang dianggap tak sesuai dengan perbuatan terdakwa. Namun dari hasil pertimbangan, keberatan itu ditolak oleh majelis hakim. "Pada intinya kuasa hukum terdakwa arahnya mau dibelokkan. Bahwa uang PI atau dividen yang 10 persen dari PHM itu bukan uang negara," ucapnya. "Sementara uang itu kan tidak bisa langsung diterima PT MGRM tanpa melalui Pemkab maupun Pemrov terlebih dahulu. Ya itu namanya uang negara," tandasnya. Setelah mendengarkan kesaksian kedua saksi, majelis hakim menutup dan melanjutkan persidangan pada Kamis (12/8/2021) pekan depan. "Tadi hanya sempat dua orang saja yang diminta keterangan. Karena tidak cukup waktu dilanjutkan pekan depan," pungkasnya. (aaa/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait