Dilema Menjadi Guru dan Orang Tua di Masa Corona

Jumat 30-07-2021,07:00 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Menjadi orang tua di masa pandemi COVID-19 menjadi tantangan besar para ibu rumah tangga. Apalagi, mereka yang juga aktif menjalankan usaha. Peran ganda sebagai seorang ibu, guru, dan karier, sering menimbulkan dilema.

Nomorsatukaltim.com - Program Ngopi Sore atau Ngobrol Pintar Inspiratif garapan Diskominfo Kaltim dan Disway Kaltim mencoba mencari jalan keluar atas dilema yang dirasakan orang tua. Kemarin, diskusi mengangkat tema; Tantangan Sekolah Online, dalam rangka Memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Program yang tayang setiap kamis sore itu menghadirkan tiga tamu spesial. Mengombinasikan pola diskusi tatap muka dan virtual. Yang disiarkan langsung dari Sky Lounge Borneo Hotel Horison Samarinda. Tiga narasumber yang dihadirkan yakni Juliani, seorang pengusaha makanan terkenal di Samarinda yang berperan sebagai perwakilan orang tua siswa. Kemudian, seorang perwakilan guru terbaik dunia asal Balikpapan, Dayang, yang mewakili para guru menyampaikan dinamika mengajar secara online. Lalu yang ketiga ialah Kaprodi Psikologi Universitas Mulawarman; Lisda. Dia berbicara soal dampak dan bagaimana harusnya orang tua mengambil peran lebih dalam proses pembelajaran daring. Perwakilan orang tua siswa, Juliani yang mendapat kesempatan berbicara lebih dulu menyampaikan keluh kesah para orang tua murid. Dia mengatakan, sebagai orang tua, pada awalnya merasa kaget ketika dihadapkan pada sistem belajar secara online. Dari yang biasanya anak-anak bisa belajar langsung dengan guru di sekolah, tiba-tiba diharuskan mengenyam ilmu melalui mekanisme virtual dari rumah. "Kagetnya karena selain mengurus anak sekolah, kan kita orang tua ada kesibukan sendiri di rumah. Setelah anak-anak sekolah dari rumah, kita yang harus bantu juga untuk belajar. Jadi ada tambahan peran besar bagi kita para orang tua," kata dia. Kondisi itu, menurutnya menuntut kemampuan adaptasi bagi para wali siswa. Yang pada akhirnya, setelah proses ini berjalan selama lebih setahun, orang tua murid mulai lebih enjoy dan santai menjalaninya. "Anak-anak juga sudah mulai beradaptasi. Yang awalnya stres, karena harus menyesuaikan diri," ujar Juliani. Yang memiliki banyak followers di instagram itu. Kendati begitu, ia tetap menaruh rasa prihatin pada para generasi sekolah. Karena dengan sistem pembelajaran daring ini, ada momentum yang harusnya bisa mereka nikmati di sekolah, terampas. Hilang dalam proses pertumbuhannya. Misalnya, waktu untuk bermain bersama teman-teman, berinteraksi dengan guru secara langsung, sekarang tidak ada lagi. Pergaulan dan sosialisasinya hilang. "Tapi kita sebagai orang tua harus tetap bertanggung jawab. Karena pendidikan utama seorang anak adalah di rumah. Bukan di sekolah." Sehingga, Juliani menekankan, bahwa dengan adanya sistem bekajar seperti saat ini, maka waktu para anak lebih banyak dihabiskan di rumah. "Jadinya aku lebih banyak fokus ke pembentukan karakternya. Mengajari yang selama ini tidak dia dapatkan," imbuhnya. Juliani berbagai cerita tentang bagaimana dia fokus membentuk karakter anaknya selama masa-masa belajar dari rumah. Ia menyadari, sang buah hati hanya butuh kemampuan akademis. Tapi juga yang turut berperan besar menentukan bagaimana anaka di masa depan adalah atitudenya. Karakternya. "Jadi bukan dinilai dari berapa nilai raportnya. Itu semua hanya angka." Dia menjabarkan, bahwa kecerdasan anak sejatinya dinilai dari tiga hal. Yaitu cerdas secara akademis, pikiran atau hati dan karakternya. Juliani, mengajar para orang tua siswa yanga terpaksa mendampingi anak untuk belajar dari rumah. Menurutnya para wali murid tidak bisa meninggalkan peran memberi pendidikan pada anak, begitu saja. Harus terus mampu mendampingi. Menunjukkan arah untuknya. Sebab masa sekolah adalah masa-masa paling indah. Sehingga mau tidak mau harus diberi support. Berikan positif life untuk menguatkan. "Terus selama pandemi anak-anak lebih banyak meniru dari karakter orang tua. Jadi sebisa mungkin kita kasih contoh yang baik pada anak. Anak itu peniru ulung. Karena masa masa ini mereka seperti spons. Menyerap semuanya," jabar Juliani. Di sisi Dayang, yang hadir secara virtual, berbicara soal pengalaman para guru mengajar via online. Menurutnya kondisi ini menjadi mementum tersendiri bagi profesi dia. Untuk kembali menjadi pembelajar sepanjang hayat. "Ketika kita dihadapkan pada era pandemi, kemudian kita diharuskan untuk mengajar secara online, kita sebagai pendidik memang harus siap. Dengan segala tuntutan yang dibebankan. Karena sebagai pendidik, dengan situasi apapun kita harus bisa terima semua yang menjadi konsekuensi hidup," cerita Dayang mengawali. Ia berucap, ketika guru diharuskan mengajar secara online, dengan menggunakan berbagai platform digital, maka pada saat itu pula guru diharuskan untuk belajar tanpa henti.  Being a life longger. Memang katanya, sebagai guru yang baik, harus senantiasa menjadi pembelajar tanpa henti, senantiasa belajar, belajar, belajar dan kemudian mengajar. Hal itu menjadi tantangan tersendiri buat para guru. Agar bisa menyisakan waktu sedikit mempelajari platform-platform yang ada kemudian diajarkan kembali kepada pesertanya. Ia bercerita, awalnya para guru juga mau tak mau harus belajar. Untuk bisa menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran ini. Mereka mengikuti webinar sesama guru. Saling berbagi ilmu untuk sama-sama maju. Sama-sama mampu. "Ini menjadi pembelajaran. Karena kalau seandainya tidak ada pandemi kita tidak pernah memaksakan diri mempelajari perkembangan teknologi," tutur Dayang. Soal efektif tidaknya, lanjut guru asal Balikpapan, semua tergantung bagaimana guru memanajemen kelas online tersebut. Guru harus mampu mengatur waktu dengan baik, dengan kreatifitas dan inovasi dan aktif mengkreasikan konten untuk melengkapi khazanah dan wawasan serta ilmu kepada anak. Yang mungkin terlupakan ketika kita mengajarkan secara online. "Karena memang waktunya singkat sekali. Jadi untuk melengkapi pembelajaran, guru perlu berinovasi. Pandemi ini bukan berarti kita harus menyerah dan putus asa. Tapi ini waktunya kita untuk saling meningkatkan kreatifitas. Buat konten pelajaran jadi menarik. Termasuk pembelnaran karakter pada anak. Untuk melengkapi pendidikan oleh orang tua di rumah. Dilengkapi dengan ilmu. Yang sekiranya cukup untuk mereka para anak bertahan hidup ke depan," jelasnya. Pembahasan menarik lainnya, disampaikan, Lisda, Kaprodi Psikologi Unmul. Menurutnya, kondisi ini memang jadi tantang tersendiri bagi anak-anak terutama di usia SD. Karena usia tersebut merupakan masa tumbuh kembang, periode emas pertumbuhan mereka. Mestinya mereka mendapat stimulasi yang optimal. Terkait kognisi, adaptasi, sosialisasi, bahasa dan lain-lain. "Memang banyak keluhan terkait keterampilan sosial. Karena kemampuan interaksi sosial anaknya menjadi berkurang. Kemudian kemampuan bahasa. Yang karena komunikasi secara daring, akhirnya anak terkesan pasif dalam komunikasinya. Karena interaksi yang terbatas." "Aspek-aspek tumbuh kembang itulah yang cukup banyak terganggu dengan sistem pembelajaran daring ini," beber Lisda. Dia menekankan, bahwa komunikasi orang tua dan pihak sekolah menjadi hal yang paling penting dalam proses ini. Itu untuk membantu orang tua dalam proses pendampingan anak di rumah. "Banyak orang tua yang belum paham. Terutama di awal-awal. Mengenai apa targetnya, bagaimana metodenya. Apa yang harus mereka lakukan. Selain mengarahkan anak untuk mengerjakan tugas." "Jadi pihak sekolah juga harus terlibat dalam proses pendampingan anak oleh orang tua. Jika ada kendala dicari solusinya sama-sama. Yang penting target pendidikan tidak meleset," pungkas dosen Unmul itu. *DAS/YOS
Tags :
Kategori :

Terkait