Kaltim Masih Gunakan Oseltamivir dan Azitromisin

Senin 19-07-2021,20:27 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Otoritas penanganan COVID-19 di Kaltim  konsisten untuk tetap memberikan Azitromisin dan Oseltamivir dalam proses terapi penyembuhan pasien COVID-19, yang bergejala ringan. Meskipun lima organisasi profesi dokter di Indonesia telah meminta agar dua macam obat tersebut dikurangi penggunaannya.

Permintaan itu tertuang dalam usulan revisi protokol tatalaksana COVID-19 yang mereka layangkan ke Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI. Lima organisasi profesi dokter yang mengusulkan yakni  Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Usulan revisi dikirimkan Rabu, 14 Juli 2021. Tetapi hingga saat ini surat permohonan revisi tersebut belum ditindaklanjuti Kemenkes. Dalam permintaan lima organisasi profesi dokter tersebut salah satunya menyarankan revisi protokol tatalaksana perawatan pasien bergejala ringan. Mereka tidak lagi merekomendasikan azitromisin dan oseltamivir. “Untuk oseltamivir dan azitromisin sebenarnya masih ada, tapi dimasukkan pada terapi tambahan. Jadi tidak rutin diberikan,” kata Ketua PAPDI, Sally Nasution dalam rilis media Jumat (16/7) lalu di Jakarta. Dijelaskan bahwa jenis obat Oseltamivir hanya diberikan kepada pasien COVID-19 jika bersamaan dengan infeksi influenza. Sedangkan azitromisin, ada beberapa data yang menunjukan bahwa hanya kecil persentasenya yang membutuhkan jenis antibiotik tersebut, "dan efek anti inflamasinya ternyata tidak terlalu kuat buktinya," jelas Sally. Pernyataan Sally Nasution didukung Adam Prabrata. Kandidat PhD Medical Science di Kobe University, menyebut dalam penelitian skala besar (7000-an orang) menunjukkan azitromisin tidak efektif untuk pasien COVID-19 yang menjalani perawatan. “Tidak menurunkan angka kematian, tidak menurunkan masa rawat inap,” kata Adam. Meski begitu, Adam sependapat jika azithromisin digunakan untuk pasien yang koinfeksi dengan mikroorganisme atipikal. “Jadi rekomendasinya bukan buat semua pasien COVID-19,” kata dia. Oseltamivir adalah sebuah obat antiviral, atau sebuah inhibitor neuraminidase yang digunakan dalam penanganan influensa A dan B, dan banyak dikenal sebagai obat yang dianjurkan untuk menangani flu burung. Oseltamivir dikembangkan oleh Gilead Sciences dan saat ini dijual oleh Roche dengan merek dagang Tamiflu. Sedangkan Azitromisin, merupakan antibiotik yang digunakan untuk pengobatan sejumlah infeksi seperti infeksi telinga tengah, radang tenggorokan, radang paru-paru, diare pelancong, dan infeksi usus tertentu. Azitromisin juga dapat digunakan untuk sejumlah infeksi menular seksual, seperti infeksi klamidia dan gonore. Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Kaltim, Andi M.Ishak dalam keterangannya menyatakan, bahwa dua jenis obat itu masih diberikan kepada pasien dalam terapi pengobatan COVID-19 di Kaltim. Selama persediaan obat-obat tersebut masih mencukupi. Walaupun begitu, Andi M.Ishak mengaku telah mengetahui adanya usulan dari lima organisasi profesi dokter untuk mengurangi penggunaannya. Atau dinyatakan tidak terbukti efektif dalam menyembuhkan penderita terpapar virus berkode SARS-CoV-2. "Masih digunakan, karena Kepmenkes (protokol tatalaksana COVID-19) belum diubah. Masih dibahas di Kemenkes terkait usulan dari 5 organisasi profesi tersebut" ucapnya kepada media ini, Minggu (18/7). Sementara itu, statemen otoritas kesehatan di Benua Etam terkait pengggunaan dua jenis obat, cenderung linier dengan pernyataan Andi M.Ishak. Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim menyatakan tetap akan menyiapkan stok obat-obatan tersebut. Untuk diberikan oleh dokter di rumah sakit rujukan kepada pasien terkonfirmasi virus corona bergejala ringan. "Tergantung keadaan pasien dan dokter penanggungjawab pasien. Tapi kami di Dinas Kesehatan tetap menyiapkan obat-obatan tersebut," kata Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, dr. Padilah Mante Runa, melalui pesan singkat, Ahad (18/7). Pengurus Daerah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Timur ikut bersuara terkait unsulan pengurangan penggunaan obat antibiotik dan antiviral tersebut. Mereka menunjukkan sikap setuju terhadap usulan itu Sekretaris IDI Kaltim, Swandari Paramita menerangkan bahwa lima organisasi profesi yang menyampaikan usulan itu juga merupakan organisasi yang ada di bawah naungan Pengurus Besar (PB) IDI. "Kami dikabari pertama, (terkait usulan tersebut)," kata dokter Swandari. Dia berujar, IDI, baik di daerah maupun di pusat tidak mempermasalahkan hal tersebut. IDI, katanya akan mengikuti saja, apabila Kemenkes menyetujui revisi protokol tatalaksana yang kesekian kalinya itu. "Tapi kalau obatnya tidak ada di mana-mana ya sama saja," tambah dokter yang juga berperan sebagai pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Kendati demikian, Swandari Paramita  menolak menjelaskan lebih jauh terkait alasan mendasar mengapa lima organisasi kedokteran di bawah PB IDI mengusulkan revisi protokol tatalaksana COVID-19, yang salah satu usulannya agar dua jenis obat yang sebelumnya secara resmi diberikan kepada pasien dikurangi penggunaannya. Kami menanyainya, apakah usulan itu terkait dengan perbincangan hangat tentang pendapat dr. Lois Owien yang menyatakan bahwa kebanyakan kasus meninggal dunia karena terpapar COVID-19 lebih disebabkan oleh interaksi antar obat akibat banyaknya jenis obat yang diberikan. Atau lebih karena ketersediaan obat yang terbatas. Ia enggan menjawab pertanyaan ini. "Karena sebut-sebut dr. Lois, saya izin akan akhiri perbincangan ini," sebut Swandari berbincang melalui pesan daring, Ahad (8/7). *DAS
Tags :
Kategori :

Terkait