Lebih Intim Melihat Perjuangan Nakes di Perbatasan Kaltim

Sabtu 17-07-2021,11:30 WIB
Reporter : Yoyok Setiyono
Editor : Yoyok Setiyono

Para tenaga kesehatan (nakes) di daerah pinggiran punya tugas berlipat ganda selama pandemi COVID-19. Di tengah keterbatasan SDM dan fasilitas kesehatan, mereka juga melawan wabah informasi palsu dari media sosial.

Nomorsatukaltim.com - Sejak awal kemunculannya, media sosial sudah menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Kalangan agamawan mengingatkan dampak negatif dari aplikasi pertemanan itu. Pemerintah juga terus melakukan kampanye penggunaan internet sehat, supaya warga memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, saat ini media sosial justru dibanjiri misinformasi dan disinformasi. Celakanya, informasi palsu menyebar layaknya virus dengan kecepatan yang tak kalah tinggi. Dampaknya terlihat di Kabupaten Berau. Ketika upaya pemerintah mengajak masyarakat meningkatkwan kewaspadaan terhadap wabah COVID-19, banyak yang tidak memercayai. Imbasnya turut dirasakan oleh para tenaga kesehatan. Informasi soal “pasien yang dicovid-kan”, atau “covid adalah konspirasi”, membuat masyarakat lengah. Sehari setelah Kabupaten Berau diumumkan sebagai salah satu dari tiga daerah yang menerapkan PPKM Darurat, saya dihubungi Kepala Dinas Kesehatan Berau, Iswahyudi. Ia menawrkan saya melihat dari dekat kondisi RSUD dr Abdul Rivai Tanjung Redeb. Tujuannya “untuk membantu menyadarkan masyarakat tentang situasi yang terjadi di rumah sakit,” ujarnya. Awalnya, kunjungan itu direncanakan Selasa malam. Namun, diundur menjadi Rabu (14/7) pagi. Saya tiba di rumah sakit sekira pukul 09.20 Wita. Dan langsung menghubungi Dani Apriat Maja (surveilans RSUD dr Abdul Rivai). Sekira pukul 10.00 Wita, saya masuk ke nurse station. Awal dijadwalkan terlaksana pukul 10.00 Wita, harus diundur hampir 40 menit. Gegara ada satu pasien COVID-19 yang mengalami pemburukan dan dinyatakan meninggal dunia. Saya merasa gugup, dan tertegun beberapa saat. Tentu itu adalah hal yang sangat baru bagi Saya. Selang beberapa waktu, Dani Apriat Maja memberikan satu paket Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Dan saya langsung menggunakannya. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya menggunakan hazmat atau APD level tiga. Namun, tetap saja ada rasa khawatir saat pertama kali masuk ke ruangan yang penuh dengan penderita COVID-19. Saya biasanya memakai APD ketika mengambil dokumentasi kasus kematian yang sudah diamankan dengan prosedur. Ketika awal melangkahkan kaki masuk ruang isolasi COVID-19, dihadapkan dengan 4 pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Tiga di antaranya menggunakan alat bantu pernapasan. Karena, semua mengalami sesak napas. Saya pun sempat berbincang dengan salah seorang pasien. Pasien yang enggan disebutkan namanya itu, mengungkapkan bahwa kondisinya sudah mulai membaik dengan alat bantu pernapasan yang telah disediakan oleh tenaga kesehatan. Setelah saya berkomunikasi dengan pasien itu, mata Saya langsung tertuju pada alat saturasi oksigen yang ada di samping tempat tidur pasien. Tampak terlihat, bahwa saturasi oksigennya di bawah angka 90. Ya, sekira 85-87 lah. Menurut dokter jaga, Yushelly Dinda Pratiwi, yang melakukan visit dan mendampingi Saya, kondisi itu sudah lebih baik dari awal si pasien masuk. Bergeser dari IGD COVID-19, saya langsung menuju ruangan intermediet pasien. Semua tempat tidur terlihat penuh. Semua pasien yang ada terlihat bergejala batuk. Saya pun kembali menyempatkan diri untuk berbincang dengan salah seorang pasien. Dia dinyatakan positif COVID berdasarkan pemeriksaan swab antigen. Dan saat ditemui, sedang menunggu jadwal untuk pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Dengan gejala yang terbilang cukup ringan, tenaga kesehatan yang bertugas berencana untuk memindahkan pasien tersebut ke Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19 di eks Hotel Cantika Swara. “Nanti kami pindahkan ya mas,” ujar dokter Yushelly kepada pasien tersebut. Setelah dari ruang intermediet, Saya diajak untuk masuk ke ruang ICU. Ruangan yang menurut saya sangat berpotensi untuk terjadi penularan. Saat saya masuk ke ruangan itu, tampak seorang pria sedang terbaring lemah dengan bantuan alat pernapasan yang terlihat super rumit instalasinya. Pria tua yang saya perkirakan berusia setengah abad itu didampingi oleh anaknya. Dengan menggunakan baju tidur berwarna merah muda, Dia menyampaikan agar kondisi orang tuanya tidak didokumentasikan. Untuk menghargai itu, saya pun tidak mengambil gambar. Bergeser di tempat tidur sebelahnya, terlihat wanita paru baya terbaring lemas dengan alat bantu pernapasan yang biasa. Namun, dari pengakuan kerabatnya yang turut hadir di ruangan itu, kondisi pasien memang sudah seperti itu sejak sebelum masuk ke ruang isolasi. Bahkan, dari laporan kerabatnya, wanita renta itu pun tidak memiliki nafsu makan. Sehingga, tenaga kesehatan menawarkan untuk dipasangkan selang makan yang akan dimasukan melalui hidung hingga ke lambung. “Nanti kalau dipasangkan alat itu, tolong diawasi ya, karena awal alat itu digunakan, pasien pasti merasakan risih,” tegas Yushelly. Setelah diberikan kesempatan melihat pasien di ruang ICU, saya pun diajak untuk menjenguk tenaga kesehatan yang terpapar wabah COVID-19. Ada 6 orang yang positif. 1 dokter dan 5 perawat. Semuanya terlihat mengalami gejala batuk. Dokter yang positif adalah dokter yang didatangkan dari Makassar, Sulawesi Selatan. Dokter Fauzan namanya. bertugas di Berau mulai awal Maret lalu. Dokter Fauzan menyatakan bahwa dirinya terpapar COVID-19 bukan karena kelalaian. Melainkan, kondisi yang sudah terlanjur drop. Karena, terlalu banyak pasien yang ditanganinya saat bertugas. “Kami selalu mengutamakan prosedur. Jadi, ini bukan karena kami lalai. Ini sudah takdir Allah, agar kami istirahat sementara waktu,” bebernya. Dokter Fauzan pun turut menyampaikan keresahannya. Melihat banyaknya pandangan atau persepsi negatif kepada rekan-rekan sejawatnya. “Saya miris melihatnya. Sedih saya. Kami di sini bukan untuk main-main. Apakah kalimat-kalimat sarkas dan satir layak dilontarkan kepada kami,” tanyanya. Setelah saya bercengkerama dengan para nakes itu, saya pun langsung menuju salah satu kamar. Di ruangan itu ada 3 pasien. Dua orang terlihat sedang duduk. Dan seorang lainnya sudah terbujur kaku dalam kantung jenazah berwarna kuning. Ternyata, itu adalah ruagan yang tadi ada pasien meninggal di awal kedatangan saya. Saya pun menyempatkan diri untuk menyampaikan rasa belasungkawa kepada suaminya, yang mendampingi jenazah tersebut. Ternyata, jenazah itu adalah orang Tanjung Redeb. Tepatnya di Kelurahan Sei Bedungun. Baru masuk Selasa (13/7) lalu. Jenazah itu meninggalkan 1 suami dan 3 orang anak. “Saya baru di swab hari ini (kemarin) dan hasilnya belum keluar,” ujar suaminya. Setelah mengunjungi ruang-ruangan itu, Saya pun bertemu dengan seorang pria muda. Dengan menggunakan baju OKA berwarna biru laut, tampak seperti tenaga kesehatan biasa. Setelah beberapa saat, saya lantas berpikir. Bukankah seharusnya, nakes yang bertugas harus menggunakan APD lengkap. Kok ada yang tidak pakai APD. Rupanya, Dia adalah bagian dari nakes yang positif. Tetap membantu kerja rekan-rekannya, walaupun kondisinya sedang terpapar virus corona. Irvan namanya, Dia menyebutkan bahwa kehadirannya adalah membantu nakes yang bertugas. Terlebih, memang juga sebagai nakes. “Saya seoarang nakes. Saya tanpa gejala. Saya bantu rekan-rekan saya untuk memantau pasien sipil lainnya. Barangkali ada yang membutuhkan bantuan cepat,” bebernya. Selain itu, Irvan pun mengatakan, bahwa sebagai pasien COVID-19, dirinya tetap mengedepankan protokol kesehatan. Bahkan, dirinya pun menggunakan handscoon dan masker berlapis-lapis saat membantu rekan-rekannya. “Kami disumpah untuk melayani pasien, jelas kami berpegang teguh dengan sumpah kami. Karena, itu akan kami pertanggungjawabkan,” tandasnya. Tak terasa, hampir tiga jam saya menggunakan APD lengkap. Selesai sudah hospital tour Saya. Saya benar-benar percaya bahwa COVID-19 itu ada. Setelah itu, Saya langsung bergegas masuk ke sebuah bilik. Saya melepaskan semua APD yang saya gunakan, sesuai prosedur penanganan COVID-19. *APP/YOS
Tags :
Kategori :

Terkait