Sertifikasi Haram
Senin 21-10-2019,07:28 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny
Minggu pagi, saya baca share berita di grup WhatsApp. Berita Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) di NTB. Tepatnya di Kuta Mandalika, Lombok Tengah, 11-13 Oktober 2019. Namun berita baru di-upload pada 19 Oktober.
MUI Kaltim mendapat penghargaan dari MUI pusat. Kategori bidang administrasi dan kerja sama. Dinilai berprestasi. Alhamdulillah....
Beberapa MUI provinsi lain juga ada yang mendapat apresiasi. Sebut saja, Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta.
Link berita yang di-share di grup tersebut mendapat respons hangat. Memantik diskusi lebih jauh tentang peran MUI. Perannya sangat vital. Apalagi Indonesia negara yang mayoritas muslim. Terutama terkait label halal.
Bagi umat muslim, makanan “halalan thayyiban” sangat penting. Halal kaitannya dengan ajaran. Tertuang dalam Alquran, kitab suci umat muslim. Sementara thayyiban, berarti layak dan baik dikonsumsi.
Saya pernah mendengar ceramah Almarhum KH Shiddiq Amien, Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis). Dulu sekali. Beliau pernah menyampaikan begini: “Batu itu halal. Tapi tidak thayyib”. Untuk mendeskripsikan kata thayyib itu.
Artinya, bisa saja suatu makanan itu halal. Bukan sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Islam. Tapi jika tidak baik bagi kesehatan, ya jangan dikonsumsi. Tidak thayyib.
Sementara untuk kategori Haram, tuntunannya sudah ada dalam Alquran. Kalau tidak salah ada empat item yang tercantum. Tapi, jumhur ulama mengembangkannya. Ada beberapa item yang tidak dibolehkan. Ada yang kategorinya makruh atau sia-sia. Sebaiknya tidak dilakukan. Hingga yang haram.
Saat ke Singapura beberapa pekan lalu, bersama tim Disway Kaltim dan Kaltara, ternyata di negeri yang mayoritas non muslim itu, konsumen muslim sangat dilindungi. Beberapa restoran berlabel halal pun ada di berbagai tempat. Kendati tidak mudah juga mencarinya.
Salah satunya di Sentosa Island. Sebelum masuk ke wahana hiburan Universal Studios, ada namanya Malaysian Food Street. Masuk ke tempat itu, beraneka menu makanan tersedia. Ya, mirip foodcourt di kita. Ada stan makanan yang berbeda-beda.
Saat itu, saya memesan nasi lemak dengan sayap ayam. Sempat kebingungan saat mencari tempat sendok makan. Kemudian terlihat, sekitar 6 meter dari stan makanan itu, tempat sendok. Ketika saya mengambil sendok itu, seorang pelayan makanan, menegur. Katanya itu bekas makanan yang tidak halal. Sementara sendok yang tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan haram, ada di dekat stan makanan tadi.
Sebetulnya saya lihat. Tapi sendok itu terbuat dari plastik. Rasanya sulit makan daging atau ayam dengan sendok plastik. Seorang rombongan akhirnya memilih makan pakai tangan.
Saat makan, Pembina Disway Kaltim Zainal Muttaqin bercerita. Sebetulnya boleh saja makan pakai sendok bekas makanan yang diharamkan itu, kalau posisinya tidak tahu. Tapi karena sudah dikasih tahu, jadinya tidak boleh.
Pak Zam, sapaan akrabnya, kemudian bercerita. Kisah seorang kiayi yang makan di sebuah restoran. Tampak lahap menikmati hidangan yang disajikan. Tiba-tiba santrinya mengingatkan, “Pak Kiayi, itu makanan haram”. Lalu sang kiayi berkata “Ini makanan enak. Tapi karena Anda memberitahu, saya harus berhenti”.
Artinya tidak ada konsekuensi dari ketidaktahuan itu. “Justru Anda yang paling sunnah rasul. Makan pakai tangan,” kata Pak Zam. Menegur Ariyansah yang tengah lahap menyantap hidangan.
Jika sulit dan bingung mencari makanan halal. Paling mudah cari Warung Padang. Kemungkinan besar halalnya. Tampak rombongan tim Disway Kaltim dan Kaltara di Lucky Plaza, Singapura.
Sebetulnya di Singapura juga menawarkan banyak pilihan restoran dan kafe yang menyajikan menu dan makanan halal. Tempat makan tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat, diantaranya Arab Street, North Bridge Road, serta Beach Road.
Bisa juga di tempat biasa kami makan, Al Madinah. Koek Rood. Dekat dengan hotel tempat menginap, Supreme, di Kramat Rd. Pas seberangnya Holliday Inn Singapore. Informasinya, dulu di saat ekonomi Indonesia bagus. Ketika pemerintahan SBY. Kawasan tersebut ramai dengan pelancong dari Tanah Air.
Atau bisa juga di Lucky Plaza, ada masakan Nasi Padang. Banyak orang Indonesia makan di tempat itu.
Keseriusan menjaga konsumen muslim juga terlihat di Foodcourt Food Republic. Terdapat pemisahan tempat cuci piring makanan halal dan non halal. Tertulis Non Halal Dish Washing dan Halal Dish Washing. Bahkan, bentuk piringnya pun dibedakan. Supaya tidak tertukar.
Itu di Singapura. Yang mayoritas bukan muslim. Tapi di Indonesia yang mayoritas muslim, apa perlu label halal itu? Pastinya mayoritas makanan berbahan halal.
Mungkin Anda sering mendengar berita, jika ada tempat makan yang memasukan bahan haram. Atau mengandung. Pasti hebohnya. Dicekal. Diperbincangkan dari mulut ke mulut. Di warung-warung kopi. Dan pastinya tidak laku lagi. Begitu pula dengan produk. Jika ketahuan tidak halal, beritanya heboh berbulan-bulan. Itu di Indonesia.
Mengutip perkataan Emha Ainun Najib: Sebagai negara yang sangat mayoritas muslim, mestinya yang diperlukan sertifikat "haram", supaya mayoritas makanan adalah halal, bukan sebaliknya...”
Teringat cerita Eko Muchlis Huda dan Ariyansah. Pagi itu, hari pertama di Singapura. Mereka membeli mi gelas untuk sarapan. Setelah selesai, Eko mulai sadar. “Lho, jangan-jangan ini tidak halal,” kata Eko. Saat memperhatikan tulisan merek mi dengan kemasan warna kuning itu, bukan berbahasa Indonesia.
Ariyansah ikut kaget. Tak pernah Ia jumpai kemasan mi gelas seperti itu. Padahal Ari anak kos. Aneka jenis mi jadi konsumsi setianya. Entah bohongan kagetnya itu, atau beneran. Karena bereaksi setelah makanan itu habis.
Tapi, sejurus kemudian mereka mengamati kemasan mi gelas itu. “Aman, ada label halalnya. Lengkap dengan stampel MUI. Ada logonya pula, warna hijau,” katanya. Sayangnya mereka tak sempat mengabadikan produk itu.
Entah mi itu diproduksi di Indonesia atau di luar. Nyatanya ada cap MUI. Artinya produk ini menyasar orang Indonesia yang banyak hilir mudik ke Singapura. Yang rata-rata suka makan mi. Ada instrumen bisnis di dalamnya. Pasar potensial.
Saya setuju dengan Emha. Agar label halal tidak terkesan ada unsur bisnisnya, mending diubah jadi label haram. Cukup makanan yang mengandung zat haram itu yang dikasih label. Diinformasikan ke publik. Toh mayoritas muslim. Toh banyak bahan baku halal yang digunakan. Toh pasarnya juga banyak umat muslim.
Label haram digunakan hanya untuk rambu-rambu, agar umat muslim tidak mengonsumsi itu. Jika di Singapura wajar. Yang dicari memang label halalnya. Karena banyak makanan yang tidak halal.
Lebel halal dan thayyiban menjadi penting di Indonesia. Thayyiban diwakili Depkes. Izin Departemen Kesehatan dan MUI itu suatu keharusan. Setiap produk makanan harus mencantumkan logo kedua instansi tersebut. Terutama bagi pelaku usaha yang memiliki produk makanan dan ingin berkembang. Jika tidak, pasti usahanya sulit berkembang.
Jadi ingat, cerita seorang pengusaha dari Lampung. Aslinya orang Jawa. Ia pernah punya produk minuman kesehatan. Khasiatnya bagus. Banyak orang mengakui. Tapi dia kesulitan mendapat izin Depkses. Usut punya usut, produknya punya saingan. Bahan bakunya sama. Produk eksisting yang mereknya dimiliki perusahaan raksasa. Izinnya tak kunjung keluar.
Kemudian Ia mencoba hal baru. Mengolah kulit manggis yang kaya manfaat untuk kesehatan. Saat itu, belum ada saingan. Tak ada merek besar yang mengolah bahan baku itu. Lalu coba didaftarkan Depkes. Berhasil medapatkan izin. Dan sekarang produknya sudah ada dimana-mana.
Dari cerita itu, Ia berkesimpulan. Ada nuansa persaingan dalam hal labeling produk kesehatan. Sangat berpengaruh. Karenanya Ia menyarankan, jika ingin membuat produk khususnya makanan dan minuman, cari yang belum ada kompetitornya. Terutama yang belum dikuasai brand besar.
Pun begitu dengan label halal. Mudah-mudahan tidak terdengar cerita seperti itu. Bagaimana dengan Anda ?
*/Pemimpin Redaksi Disway Kaltim.
Saran dan masukan bisa dikirim via email di diskaltim@gmail.com.
Tags :
Kategori :